REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivitas intelektual berdenyut di Bandung (Jawa Barat) pada era 1920-an. Cukup banyak figur yang kelak menjadi founding fathers bangsa ini menempuh pendidikan di sana. Mereka tidak hanya menyerap ilmu di sekolah formal, tetapi juga aktif berorganisasi dan mengusung ideologi-ideologi tertentu.
Dalam situasi demikian, Ahmad Hassan--tokoh Persis--menjadi mentor bagi tokoh-tokoh muda di kota berhawa sejuk itu. Sebut saja Mohammad Natsir, Isa Anshari, E Abdurrahman, dan Rusyad Nurdin. Ulama penyokong Persatuan Islam (Persis) itu tidak hanya berkomunikasi dengan mereka yang sehaluan, tetapi juga yang berseberangan.
Hal itu sehubungan dengan diskursus pertentangan antara ideologi sekular dan Islam.
Setidaknya, dua figur dari generasi di bawah A Hassan yang meramaikan dialektika tersebut. Mereka adalah Sukarno dan Mohammad Natsir.
Hassan, Sukarno dan Natsir di Bandung
Sukarno menempuh studi pada Technische Hoge School (kini Institut Teknologi Bandung). Pada 1927, dia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berhaluan sekular dan non-kooperasi terhadap pemerintah kolonial.
Kepiawaiannya berpidato memikat ribuan orang dan sekaligus membuatnya dimata-matai aparat Politieke Inlichtingen Dienst (PID, intelejen politik Hindia). Dengan gagah berani, Sukarno menyuarakan tuntutan kemerdekaan Indonesia selekas-lekasnya dari penjajahan Belanda.
Sukarno muda ketika masa-masa berkuliah di Bandung (sumber: tangkapan layar repro buku 'Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat'
Adapun Mohammad Natsir belajar di Algemene Midelbare School (setingkat SMA). Usianya lebih muda kira-kira tujuh tahun dari Sukarno. Pemuda Minang itu awalnya ingin menjadi pakar hukum. Namun, selama di Bandung dia merasa terpanggil untuk mempelajari kembali dan tampil membela Islam, terutama setelah berguru pada A Hassan. Nama Natsir melambung berkat tulisan-tulisannya yang membahas agama dan sosial-politik di majalah Pembela Islam, yang dikelola unsur pimpinan Persis.
Sebagaimana Hassan, Natsir tidak sepandangan dengan kaum sekular yang menganggap negara harus netral agama. Beda pendapat antara dua tokoh muda itu, Natsir dan Sukarno, bagaikan timur dan barat. Perbedaan antara keduanya tidak hanya ditunjukkan melalui pidato atau rapat umum, tetapi juga keriuhan wacana di media massa. Satu sama lain saling mengkritik kelemahan argumen masing-masing.
Walau ada perbedaan, toh masih banyak persamaan. Bagaimanapun, dua kubu itu—sekular dan Islam—sama-sama mengecam penjajahan Belanda atas Tanah Air. Baik Natsir maupun Sukarno, umpamanya, juga hidup dekat dengan masyarakat.
Di Bandung, Sukarno tinggal bersama istrinya di sebuah rumah sederhana. Sebagai lulusan THS, dia bisa saja hidup enak sambil menikmati gaji tinggi pegawai negeri. Jalan hidup elitis itu ditolaknya karena baginya memperjuangkan kemerdekaan rakyat jauh lebih penting.
Prinsip yang sama juga diamalkan Natsir. Begitu lulus dari AMS, pemuda Minang ini justru tidak berselera mengambil beasiswa Rechts Hooge School (sekolah tinggi hukum) di Batavia (Jakarta).
Natsir lalu menulis surat kepada orang tuanya di Sumatra Barat agar merestuinya yang ingin mendalami ilmu-ilmu agama terlebih dahulu, untuk kemudian berjuang di jalur pergerakan, pendidikan, dan dakwah. Seperti Sukarno, Natsir juga menolak hidup enak sebelum bisa mewujudkan idealismenya yang luhur.
Dalam hal ini, Natsir pun mengikuti pola hidup gurunya. Sudah digambarkan sebelumnya bagaimana kekaguman Natsir terhadap Hassan. Misalnya, betapa ulama senior itu bekerja keras siang dan malam sebagai penulis belasan buku, antara lain Al-Furqan, kitab tafsir Alquran pertama di Indonesia (terbit lengkap pada 1956).
Cendekiawan keturunan India itu juga mengelola majalah Pembela Islam, yang mayoritasnya berisi tanya-jawab tentang agama, sehingga mencerahkan pembacanya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Hassan mengandalkan penghasilan dari penjualan buku-bukunya.
Ulama yang autodidak itu tidak suka menerima sedekah. Hampir seluruh kesibukannya tercurah dalam upaya mencerdaskan umat Islam, terutama melalui Persis. Selama di Bandung, Hassan menetap di sebuah rumah sewaan yang sederhana.
Zahirnya tiga nama yang disebut di atas (Hassan, Natsir, dan Sukarno) hidup serba terbatas, tetapi batin dan pengetahuan intelektual mereka sungguh kaya.