REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang kepergiannya ke Surabaya (Jawa Timur), A Hassan sudah diwanti-wanti pamannya. Di kota itu sedang terjadi dinamika antara Kaum Tua dan Kaum Muda.
Sang paman, Haji Abdul Latief, condong pada kelompok tradisi, sehingga meminta keponakannya itu untuk menjauhi Kiai Faqih Hasyim sesampainya di Surabaya. Alasannya, ulama asal Minangkabau itu dianggap mendukung dan menyebarkan gagasan Kaum Muda di Surabaya.
Kaum Muda dan Kaum Tua bukanlah sesuatu yang baru bagi Hassan, bahkan sejak masih di Singapura. Berbeda dengan sang paman, ayahnya condong pada Kaum Muda.
Beberapa guru Hassan juga mendukung gerakan pembaruan atau modernisme Islam. Memang, Kaum Tua cenderung mendominasi wacana keislaman di negeri kecil jajahan Inggris itu.
Peta Singapura (waktu itu bagian dari The Straits Settlements, jajahan Inggris) tahun 1727. Sumber: tangkapan layar Wikipedia.org
Dalam masa awal bermukim di Surabaya, Hassan sering berinteraksi dengan Kaum Tua. Akhirnya, dia merasa kurang puas terhadap jawaban-jawaban yang disampaikan sejumlah tokoh kelompok ini. Dia lalu menemui Kiai Faqih Hasyim untuk mengenal lebih lanjut perspektif Kaum Muda.
Seiring waktu, Hassan justru semakin tertarik pada modernisme Islam. Kedekatannya dengan sang guru kian erat. Belakangan, setelah ulama Minang itu wafat, Hassan bahkan mengasuh salah seorang putranya.
Mulai Menetap di Bandung
Tahun silih berganti. Usaha dagangnya di Surabaya tidak begitu pesat. Pada 1924, atas saran dari para rekan bisnisnya, Hassan pergi ke Bandung untuk mempelajari teknik tenun yang berkembang di sana. Niatnya hendak mendirikan kerajinan tenun di Surabaya. Sembilan bulan pertama dia tinggal di kota berjulukan Paris van Java itu. Hassan menumpang di rumah KH Muhammad Yunus, seorang pendiri Persatuan Islam (Persis).
Bila tidak mengerjakan persoalan bisnis, Hassan menghabiskan waktu dengan membaca dan menulis persoalan agama. Dalam tempo inilah dia mulai menyusun karyanya, Tafsir al-Furqon. Hassan juga senang mengikuti kajian dan diskusi yang diselenggarakan para tokoh Persis.
Sebaliknya, mereka semakin mengenal serta mengakui kedalaman ilmu pria keturunan India itu. Sampai akhirnya, Hassan diminta untuk menggantikan Haji Zamzam yang sudah pensiun sebagai guru. Sejak saat itu, dia menetap di Bandung. Masyarakat memandangnya sebagai pendakwah. Orang-orang kerap meminta nasihat atau pendapatnya tentang hal-hal keagamaan dan problem sosial.
Hassan tinggal di Gang Pakgade—kini dekat Jalan Otto Iskandar Dinata, Kota Bandung. Ajip Rosidi dalam buku M. Natsir: Sebuah Biografi mendeskripsikan jalan kecil itu tidak jauh berbeda daripada gang-gang lain, kecuali bahwa di sanalah mulai menyebar gagasan modernisme Islam.
Sejak 12 September 1923, Persis berdiri dengan tujuan terlaksananya syariat Islam berlandaskan Alquran dan Sunnah secara komprehensif (kaffah) dalam segala aspek kehidupan. Pada saat itu, tokoh-tokohnya adalah KH Muhammad Yunus dan Haji Zamzam.
Maka begitu Hassan menjadi bagian dari Persis, gema kegiatan di Pakgade semakin besar. Di kediamannya, dia kerap menerima banyak tamu, mulai dari anak-anak muda hingga tokoh-tokoh pergerakan. Mereka senang mengajaknya bertukar pikiran atau sekadar menyaksikannya berdebat. Pada masa inilah datang seorang pemuda cerdas bernama Mohammad Natsir.