REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cakupan keilmuan agama Islam yang ditransmisikan kepada para santri meliputi banyak bidang. Misalnya, tata bahasa Arab, tafsir Alquran, ilmu hadits, tauhid, fiqih, sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, akhlak, tasawuf, dan masih banyak lagi.
Pada masa kini, kurikulum yang diberlakukan pesantren sudah banyak diperkaya ilmu-ilmu sains dan umum. Maka dari itu, alumnus pesantren-pesantren diharapkan tidak kalah unggul ketimbang lulusan sekolah-sekolah formal.
Pada intinya, pendidikan di pesantren membentuk karakteristik setiap santri agar teguh dalam agama (tafaqquh fi ad-diin), sehingga menyadari fungsinya sebagai agen perubahan dan keteladanan di tengah masyarakat.
Abad 20: Santriwan dan Santriwati
Santri tidak hanya berasal dari golongan laki-laki, melainkan juga perempuan. Pada 1910, cukup banyak pesantren yang membuka pondok atau asrama khusus kaum hawa.
Misalnya, Pesantren Denanyar di Jombang (Jawa Timur). Contoh lainnya berasal dari Ranah Minangkabau, yakni Pondok Pesantren Diniyah Putri Padang Panjang. Tokoh Muslimah setempat, Rahmah El Yunusiyah, mendirikan sekolah itu pada 1 November 1923.
Era 1920-an, sejumlah pesantren di Jawa Timur juga mengadopsi pengajaran bahasa-bahasa Eropa dan ilmu-ilmu umum serta sains. Hal itu dilakukan agar lulusannya tangguh menghadapi era modern. Pesantren Tebuireng Jombang dan Pesantren Singosari Malang merupakan beberapa contoh di antaranya yang memberlakukan kebijakan demikian.
Pada zaman kolonial, begitu banyak pesantren yang masyhur lantaran diasuh oleh figur-figur ulama kharismatik. Mereka memunculkan santri-santri yang akhirnya berkontribusi besar bagi perjuangan bangsa Indonesia. Untuk menyebutkan beberapa nama di antaranya--khususnya di Jawa--yakni: Pesantren Tebuireng di Jombang, Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Siwalan Panji di Sidoarjo, Pesantren Lirboyo di Kediri, dan Pesantren Tremas di Pacitan, serta Pesantren al-Munawwir di Yogyakarta.
Sementara itu, di luar Jawa, ada Pesantren Tengku Haji Hasan di Aceh, Pesantren Masrurah di Medan, Pesantren Tanjung Sunggayang di Padang, Pesantren Syamsul Huda di Jembrana (Bali), Pesantren Nahdlatul Wathan di Lombok (NTB), serta Pesantren al-Khairat di Palu (Sulawesi Tengah).
Sejumlah santri mengaji kitab kuning di Pesantren Ilmu Alquran Al Misbah, Jalan Bahari, Jakarta, Jumat (25/5).
Tiga Faktor Penting
Ensiklopedi Islam (1993) memaparkan sekurang-kurangnya tiga faktor di balik tumbuh kembangnya pesantren pada masa penjajahan Belanda. Pertama, kalangan istana memberikan kedudukan yang terhormat pada para kiai, terutama sebagai penasihat sultan. Maka dari itu, pesantren-pesantren yang mereka dirikan akan disokong penuh oleh penguasa politik (tradisional) setempat.
Bahkan, tidak sedikit pesantren yang memulai riwayatnya dari prakarsa para sultan. Kedua, pesantren menjadi alternatif utama bagi rakyat yang memerlukan pendidikan bagi anak-anaknya. Alasannya, mereka tidak mendapatkan peluang untuk belajar di sekolah-sekolah formal bentukan pemerintah kolonial.
Ketiga, khususnya sejak abad ke-20, teknologi moda transportasi kian berkembang pesat. Alhasil, tokoh-tokoh Muslim lokal dapat relatif mudah melaksanakan ibadah haji. Di Tanah Suci, mereka sekaligus berguru kepada ulama-ulama besar. Begitu kembali ke Tanah Air, para penuntut ilmu itu mendirikan pesantren di daerah asal masing-masing. Di sanalah mereka mengajarkan ilmu-ilmu yang telah diperolehnya selama di rantau.
Hal penting lainnya di balik lestarinya pesantren adalah mutu santri. Dalam kebudayaan Jawa, misalnya, santri merupakan kelompok sosial dengan ciri-ciri tertentu. Clifford Geertz (1926-2006), sang antropolog yang mempopulerkan pemilahan "santri, abangan, dan priyayi" telah meneliti pada 1953-1964. Dia mengadakan riset lapangan di komunitas Muslimin di Mojokuto.
Baca juga: Mengenal Tradisi dan Keunikan Pesantren (2)
Dalam uraiannya kemudian, diasumsikannya bahwa santri merupakan golongan yang berupaya mengamalkan Islam secara sempurna. Para santri tidak hanya fokus pada ibadah yang sifatnya ritual, tetapi juga segala aspek kehidupan. Tujuannya agar keseharian selaras dengan ajaran Islam.
Daerah-daerah di pantai utara Jawa cukup marak keberadaan santri. Sebab, penyebaran Islam memang bermula di kawasan pesisir, berkat dakwah antara lain yang dilakukan para pedagang dari Arab dan Gujarat (India).
Maka dari itu, tidak mengherankan bila pola kehidupan santri lekat dengan kultur maritim-pedagang. Pada pokoknya, mereka dididik menjadi pribadi yang mandiri, berintegritas, berjiwa kepemimpinan, dan kualitas intelektual yang tinggi dalam bidang ilmu-ilmu agama serta keterampilan praktis. Utamanya, bidang ekonomi dan pertanian, untuk menunjang kehidupan masyarakat lokal.