Selasa 12 Feb 2019 09:39 WIB

Kontribusi Ulama Uzbekistan dalam Dakwah Islam di Nusantara

Ulama Uzbekistan turut merancang dakwah di Tanah Jawa

Pengunjung melihat peta tempat asal ulama Uzbekistan yang saat pameran foto Uzbekistan di Gedung Bayt Al-Quran TMII, Jakarta, Jumat (8/2).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pengunjung melihat peta tempat asal ulama Uzbekistan yang saat pameran foto Uzbekistan di Gedung Bayt Al-Quran TMII, Jakarta, Jumat (8/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarawan Islam Rijal Mumaziq memaparkan makalahnya yang berjudul "Jejak Ulama Uzbekistan di Nusantara". Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assuniyyah, Jember, ini menjelaskan lebih perinci terkait jejak ulama Uzbekistan di Indonesia.

"Kalau saya boleh menyebut, ada tiga generasi, yaitu kakek, anak, cucu yang memiliki akar kebudayaan di Uzbekistan lalu berdakwah di Indonesia dan memiliki jejak pengaruh besar," kata sejarawan yang akrab disapa Gus Rijal ini di awal paparannya.

Ia menuturkan, kakek dari generasi dai tersebut adalah Syekh Jumadil Kubro alias Syekh Najmuddin Kubro. Ulama ini, menu rutnya, datang berdakwah lebih dulu di nusantara dan diperkirakan hidup semasa Gajah Mada.

Berdasarkan tarikh para sejarawan, menurut dia, Gajah Mada yang mendampingi Hayam Wuruk wafat pada 1363 M. Saat itulah pendakwah masuk ke nusantara untuk mendakwahkan Islam secara damai sehingga Islam mulai dipeluk oleh beberapa elite Maja pahit.

 

"Dan, tokoh yang paling berperan penting dalam Islamisasi di Majapahit adalah leluhur wali songo, yaitu Syekh Jumadil Kubro," ucap dia.

Menurut Gus Rijal, banyak versi terkait ulama ini, demikian juga asal-usul dan jejak dakwahnya. Bahkan, banyak versi yang me nyebutkan lokasi makam Syekh Jumadil Kubro. Di pekuburan kuno Troloyo, Mojokerto, ada kompleks makam Islam yang di dalamnya terdapat makam Syekh Jumadil Kubro.

Demikian juga di Terboyo, Semarang. Bahkan, di Tosora, Wajo, Sulawesi Selatan, ju ga ada versi makam Syekh Jumadil Kubro. Di lokasi ini, dia dikenal sebagai Imam To wajo', yaitu pemimpin agama masyarakat Wajo.

Kemudian, putra Syekh Jumadil Kubro, yakni Syekh Ibrahim Zainul Akbar alias Syekh Ibrahim as-Samarqandi menyusul ke Jawa setelah dia berhasil mengislamkan Raja Cham pa dan menikahi putrinya. Langkah ini ke mudian diikuti oleh adiknya, Syekh Mau lana Ishaq yang juga berhasil melakukan Islamisasi terbatas di Blambangan atau Banyuwangi.

Selanjutnya, putra Syekh Ibrahim as- Samarqandi, yakni Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) dan Ali Murtadlo (Raden San tri) juga mengikuti jejak ayah dan kakeknya berdakwah di Nusantara, khususnya di Jawa. "Generasi inilah yang memainkan peran penting dalam Islamisasi di kawasan Nu santara. Sebab, mereka juga mendidik kaderkader dai tangguh yang berperan dalam pro ses dakwah di kawasan Nusantara Timur," katanya.

Dalam paparannya, Gus Rijal kemudian lebih fokus pada riwayat Syekh Ibrahim as- Samarkandi. Karena, nama ulama penyebar Islam ini yang paling menunjukkan asalnya dari Samarkand, yaitu ibu kota Uzbekistan hingga 1930 M.

Dalam pelafalan Jawa, nama ini disebut dengan Syekh Brahim Asmorokondi atau Makhdum Asmoro. Sementara, Babad Jawi menyebutnya Makdum Brahim Asmoro. Karena bernama Ibrahim, banyak yang salah paham dan menganggapnya sama dengan Syekh Maulana Malik Ibrahim.

Padahal, menurut dia, keduanya berbeda. Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat di Gresik pada 1419 M, sedangkan Syekh Ibrahim as- Samarqandi datang ke Jawa pada pertengah an 1440-an M dan dimakamkan di Tuban.

Sebelum ke nusantara, mula-mula Syekh Ibrahim as-Samarqandi berdakwah ke Kerajaan Champa. Pada abad ke-14, kerajaan yang terletak di pinggir sungai ini cukup maju. Namun, Raja Champa saat itu menolak masuk Islam, bahkan memerintahkan agar Syekh Ibrahim as-Samarqandi beserta beberapa orang yang masuk Islam dibunuh.

Namun, niat buruk Raja Champa itu gagal lantaran keburu meninggal. Raja baru kemu dian diperkenalkan dengan Islam, dan berke nan masuk Islam. Bahkan, Syekh Ibarhim as- Samarqandi kemudian berhasil menikahi Dewi Candrawulan, putri Raja Champa ter sebut. Dari pernikahan ini lahirlah Sunan Am pel dan Raden Santri.

Saat masuk ke nusantara, Syekh Ibrahim as-Samarqandi sempat menghabiskan waktu beberapa dasawarsa di Pulau Sumatra, setelah itu baru berdakwah ke Pulau Jawa. Dia men darat di sebelah timur Bandar Tuban, yang disebut Gisik atau sekarang Desa Gisikharjo, Kecamatan Palang Tuban.

Pendaratan di Gisik dilakukan sebagai salah satu bentuk kehati-hatian karena Tuban saat itu menjadi pelabuhan internasional Majapahit. Di tempat yang tidak terlalu ramai inilah, Syekh Ibrahim as-Samarqandi memulai dakwahnya di Jawa. Kelak, di desa ini pula ia wafat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement