Ahad 10 Feb 2019 06:06 WIB

Ketika Umar bin Khattab Kritik Gubernur Mesir

Masukan adalah salah satu cara menyelamatkan pemimpin dari jurang kesalahan.

Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)
Foto: Wordpress.com
Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Begitu berat kesedihan yang dirasakan pria bernama Abdullah bin Utsman bin Amir. Betapa tidak, ia baru saja kehilangan sahabat perjuangan, penunjuk jalan hidup, hingga saudara yang ia cintai.

Jasad orang yang ia cintai masih terbujur. Kesedihan belum juga reda darinya. Namun, kaum Muslimin bersepakat, pria yang akrab disapa dengan nama kuniyah Abu Bakar ini diangkat menjadi pemimpin kaum Muslimin.

Maka, saksikanlah pidato Abu Bakar yang digelari as-Shidiq karena benar lagi membenarkan ini setelah urusan kaum Muslimin dipikulnya.

“Wahai sekalian manusia, kalian telah sepakat memilihku untuk memimpinmu. Aku ini bukanlah yang terbaik  di antara kamu. Maka, bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku, tetapi bila aku bertindak salah, betulkanlah. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku.”

 

Abu Bakar as-Shidiq RA telah memberikan garis tegas dalam kepemimpinannya. Sepanjang ia berjalan dalam rel ketaatan Allah dan Rasul-Nya maka tak ada alasan bagi kaum Muslimin mengingkarinya. Namun, jika ia sudah melenceng, kaum Muslimin boleh berlepas darinya.

Selain itu, di masa awal kepemimpinannya, Abu Bakar telah memberikan peluang kepemimpinan partisipatif. Beliau RA tidak mengenal apa yang kini terkenal dengan perkataan Lord Acton jika kekuatan absolut cenderung koruptif. Abu Bakar membuka selebar-lebarnya peran kaum Muslimin untuk memberi ruang kritik kepadanya. Tak ada kekuasaaan absolut, alih-alih koruptif.

Pemimpin, dalam perspektif Abu Bakar, bukan yang antikritik. Pemimpin, sesuai perkataan Abu Bakar, memberikan tuntunan kapan ia boleh ditaati, kapan boleh ia dikritik. Tidak mudah tentu saja menjadi Abu Bakar. Beliau RA harus menggantikan sosok kepemimpinan seorang nabi dan rasul. Jika Rasulullah dibimbing wahyu, Abu Bakar harus menggunakan Alquran dan sunah sebagai petunjuk praktis kepemimpinannya. Ditambah, upaya ijtihadnya diuji.

Seperti, beratnya pemimpin 230 juta penduduk Indonesia. Ada ratusan juta nyawa yang ia pikul. Membayangkan yang akan dihisab di negeri akhirat saja bebannya seperti tak tertanggungkan. Maka, orang-orang yang memantapkan diri sebagai pemimpin negeri ini tentu sadar ia sedang memikul apa, bukan mencari apa.

Beban berat itu salah satunya adalah keikhlasan untuk mendengar masukan dan kritikan dari orang yang ia pimpin. Abu Bakar sahabat terbaik Rasulullah sadar, ia hanya manusia biasa yang bisa salah. Maka, ia membuka dan mengajak kaum Muslimin untuk meluruskannya jika ia khilaf. Seperti itu pula pemimpin kita. Boleh jadi, kritik dan masukan adalah upaya untuk meringankan beban tuan pemimpin yang sudah begitu berat.

Terbukalah terhadap masukan, terimalah setiap pembenahan. Tentu, tidak harus semua diakomodasi. Minimal, jangan alergi terhadap kritik, setajam apa pun.

Adalah Amr bin Ash RA, sahabat yang membebaskan Negeri Kinanah, Mesir, dan mengubahnya menjadi negeri yang dinaungi Islam. Amr diamanahi menjadi gubernur Mesir semasa pemerintahan Khalifah Umar Ibnul Khattab RA.

Amr yang notabene pemimpin tertinggi di wilayah Mesir suatu saat diadukan rakyatnya seorang Yahudi. Merasa mendapat ketidakadilan, sang Yahudi berkelana ke Madinah, hendak mengadukan masalahnya ke Khalifah Umar bin Khattab RA. Didapatinya sang khalifah sedang tidur siang di bawah pohon. Penampilan Umar memang tak seperti Kisra atau Heraklius yang menguasai dua imperium besar. Umar mendengar keluh kesah sang Yahudi, lalu mengambil tulang dan menggambar garus lurus di atasnya dengan pedang.

Disampaikannya tulang itu ke Amr bin Ash. Seketika itu, pucat pasi wajahnya hanya melihat tulang. Sang rakyat Yahudi bingung bukan kepalang. Mengapa Amr bisa begitu takut hanya dengan tulang. "Ketahuilah," Amr memulai penjelasannya, "Umar memintaku berbuat adil dan lurus seperti lurusnya garis di dalam tulang ini."

Amr, dikritik oleh rakyatnya yang bukan orang Islam. Namun, rakyatnya mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya. Kritik bukan sesuatu yang menghancurkan seseorang ke dalam nista. Namun, bisa jadi ia penyelamat sang pemimpin dari berbuat tidak adil.

Seperti lelaki yang menggaris di atas tulang itu, saat ia dilantik menjadi khalifah pun ia meminta kaum Muslimin mengawasinya. "Jika engkau salah, akan kuluruskan dengan pedang," jawab salah seorang pemuda menanggapi pidato Umar. Umar pun menerimanya sebagai sebuah kebaikan meski harus berurusan dengan pedang jika ia menyeleweng.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement