Sabtu 09 Feb 2019 21:40 WIB

Muslim Australia Terkesan Saat Kunjungi Makassar

Ada sejarah panjang Indonesia-Australia yang dimulai dari perjalanan pelaut Makassar.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Reiny Dwinanda
Pelataran Masjid Terapung Amirul Mukminin, Anjungan Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan.
Foto: Abriawan Abhe/Antara
Pelataran Masjid Terapung Amirul Mukminin, Anjungan Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Program pertukaran Muslim Australia-Indonesia atau dikenal dengan Australia-Indonesia Muslim Exchange Program (AIMEP) berakhir hari ini, Sabtu (9/2). Seluruh peserta dari Australia telah terbang dan kembali di daerahnya masing-masing.

Salah satu peserta AIMEP asal Melbourne yang ditemui Republika.co.id di Masjid Istiqlal, Jakarta, pada Jumat (8/2) mengatakan sangat bersyukur dapat berkesempatan mengikuti program yang diselenggarakan Australia-Indonesia Institute (AII) dan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia ini. Menurut Zaenab, saat mengunjungi Indonesia, Makassar adalah tempat yang paling memberikan kesan mendalam baginya.

“Awalnya saya tidak memiliki ekspektasi tinggi tentang Indonesia, tapi saat melihat langsung, saya baru sadar Indonesia adalah negara yang sangat indah dan memukau,” ujar wanita bergelar magister program Islamic Studies di Charles Sturt University, Australia ini.

Zaenab mengaku memiliki ketertarikan untuk mempelajari tentang sejarah panjang Australia-Indonesia yang dimulai dari perjalanan pelaut Makassar ke Australia sebelum Eropa mendeklarasikan temuannya atas benua Australia. Selain itu, dia juga sangat terkesan dengan akulturasi budaya, semangat kerja, dan keramahan warga Indonesia.

“Saya sangat menyukai kemurahan senyum orang Indonesia. Mereka selalu menyambut kami dengan hangat,” kata wanita yang pernah mendapatkan penghargaan sebagai Youth of the Year in the Australian Muslim pada 2018 lalu.

Zaenab juga mengaku sangat takjub dengan keseriusan pendidikan Islam Indonesia terhadap pengajaran agama dan Bahasa Arab. Saat mengunjungi beberapa pesantren, Zaenab mengaku bertemu dengan anak berusia lima hingga enam tahun yang telah fasih mengaji dan dia merasa sangat bangga tentang itu.

“Walaupun bahasa Arab bukan bahasa ibu warga Indonesia, tapi kesungguhan Indonesia dalam pengajaran dan pengaplikasian perlu diapresiasi,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement