REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Sejumlah tokoh memaparkan gagasan mereka tentang Islam berkemajuan dalam konteks kebangsaan dan keumatan dalam Halaqah Kebangsaan Cendekiawan dan Ulama Muhammadiyah yang digelar Maarif Institue, Kamis (7/2).
Kegiatan ini mengambil tema Islam Berkemajuan pada Era Kontemporer; sosial dan politik.
Turut hadir dalam acara ini Pakar Hukum dan Dewan Pengarah BPIP Mahfud MD, mantan Bupati Bojonegoro Suyoto dan Komisioner KPU 2017-2022 Pramono U Tanthowi. Para
Menurut Suyoto tantangan umat Islam terbesar saat ini adalah bagaimana menjadi umat yang produktif dan proaktif menjemput kesempatan ekonomi.
Agenda peradaban ini, lanjutnya, amat sangat relevan setelah sekian lama mengandalkan ekonomi berbasis sumber daya alam.
Dia mengatakan, untuk menjadi bagian sukses dari peradaban ini maka sumber daya manusianya harus dibenahi yakni, memiliki pemahaman yang tepat, pilihan strategis, persiapan matang, kokoh karakter, lincah, dan kreatif.
“Maka pemahaman keagamaan Islam berkemajuan harus terus dihidupkan untuk terus membimbing umat menjemput masa depan,” ujarnya dalam keterangan tulis yang diterima Republika.co.id, Jumat (8/2).
Mahfud MD dalam pemaparannya menyampaikan bahwa hukum Islam dapat diaktualkan ke segala perkembangan zaman secara inklusif.
Oleh karenanya, lanjut Mahfud, salah satu ciri Islam berkemajuan adalah Islam yang membawa gagasan-gagasan baru, mendorong dan mengisi kemajuan.
“Jika tuntutan kebutuhan masyarakat berubah, maka isi aturan hukum pun bisa diubah karena hukum memang harus berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” kata dia.
Dia mengatakan, tak bisa dimungkiri, perubahan hukum itu terjadi sejalan dengan perkembangan dan perubahan zaman, tempat, dan budaya.
Dan, Muhammadiyah, sesuai jargon Islam Berkemajuan, kata Mahfud, harus terus menyalakan ijtihad dan kontekstual dalam melihat berbagai ragam persoalan.
Selanjutnya, menurut Pramono U Tanthowi, lebih melihat persoalan dari sudut pandang politik.
Ia menyampaikan bahwa salah satu persoalan yang dihadapi Muhammadiyah kini adalah menguatnya politik identitas dalam kontestasi elektoral, yang arahnya semakin mencemaskan. Sehingga, tak menutup kemungkinan adanya pemanfaatan amal usaha Muhammadiyah sebagai basis mobilisasi dukungan politik.
“Karena itu, sebagai organisasi terbesar seharusnya Muhammadiyah bersikap netral dan tidak memberikan dukungan politik kepada salah satu pasangan Capres/Cawapres,” kata dia.
Hal yang perlu dilakukan adalah memperkuat literasi politik dan literasi digital untuk mengembangkan budaya politik yang berkemajuan dan berkeadaban,” ucapnya.