REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Indonesia Halal Watch (IHW) menanggapi penundaan perjanjian halal antara Indonesia dan Malaysia. Semestinya perjanjian tersebut ditandatangani pada 26 Januari 2019, namun terjadi penundaan hingga April mendatang.
Direktur IHW Ikhsan Abdullah meminta perjanjian tersebut tidak perlu ditandatangi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) lantaran merugikan kepentingan UMKM Indonesia.
“UMKM Malaysia jauh lebih baik dari UMKM Indonesia, baik kemampuan kapitalnya, teknis maupun sumber daya manusia,” ujarnya saat konferensi pers di Kantor IHW, Rabu (6/2).
Menurutnya, saat ini pelaku usaha domestik hanya menjadi penonton digdayanya Alfamart dan Indomart yang didominasi produk-produk perusahaan multinasional seperti Unilever, Nestle, Danone dan lainnya. Bahkan, sebagian produk tersebut tidak diproduksi di dalam negeri.
Dia mengatakan, sebaiknya BPJPH melindungi UMKM dan pasar domestik untuk kepentingan bangsa. Bila penyelenggara negara (BPJPH) tidak memiliki kepekaan terhadap isu (halal) maka tidak lama lagi UMKM Indonesia bisa gulung tikar dan bakal jadi penonton pasar seperti saat ini pasar lokal dibanjiri produk asing.
Ikhsan menjelaskan, majunya UMKM di Malaysia lantaran pemerintah Malaysia memberikan dukungan dalam penguatan UMKM baik sisi modal, pengetahuan labelisasi halal hingga subsidi ekspor ke negara tujuan.
“BPJPH memberikan apa kepada UMKM kita (Indonesia) dan produknya. Ini sangat merugikan bangsa dan kurang memiliki perasaan serta kebijakan yang pro rakyat,” ucapnya.
Untuk itu, ia meminta BPJPH dapat mengkaji dengan baik serta melibatkan pemangku kepentingan industri perdagangan dalam menerapkan kesepakatan sertifikasi halal dua negara.
“Kementerian Koperasi dan UKM tidak perlu MoU seperti yang dilakukan dengan negara lain karena lebih banyak mudlaratnya ketimbang manfaatnya,” kata dia.
Ikhsan juga mengusulkan, BPJPH dapat bekerja sama dengan Badan Pengawasa Obat dan Makanan (BPOM) mengenai pencegahan produk asing yang lokal ilegal yang membanjiri masyarakat.
BPJPH juga diminta fokus mencetak auditor halal mengingat turunan UU JPH belum rampung. “Ingat batik dan tempe saja diklaim oleh Malaysia, apalagi yang akan terjadi jika diberikan legitimasi dan kemudahan MoU Jaminan Produk Halal dan sertifikasi antara Malaysia dan Indonesia,” ungkapnya.
Ikhsan mengaku telah menyurati Presiden Joko Widodo. Dalam surat tersebut berisi akan munculnya potensi produk halal dari Malaysia dan agar Presiden mengkaji perjanjian BPJPH dan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim) sehingga isinya tidak merugikan Indonesia.
Ikhsan menjelaskan, apabila merujuk pada Pasal 10 ayat 2 UU JPH maka setiap produk makanan yang masuk dan beredar serta diperdagangan di wilayah Indonesia wajib bersertifikasi halal yang dikeluarkan oleh MUI dalam bentuk Keputusan Penetepan Halal Produk.
Dia menyebut UU JPH No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal juga untuk melindungi para pengusaha Indonesia atau produk Indonesia dari serbuan produk asing yang masuk ke Indonesia, sebagaimana dinyatakan pada pasal 4 UU JPH.
“Dengan standar halal MUI maka perbuatan penandatangan MoU tersebut sangat merugikan para pengusaha nasional Indonesia dan bangsa,” ungkapnya.