REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Shobri Azhari
Ibnu Mas’ud meriwayatkan, seseorang mendatangi Rasulullah lalu bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang mencintai kaum, tetapi tidak bersama mereka (di akhirat)?” Rasulullah menjawab, “Seseorang itu bersama orang yang dicintainya.” (Muttafaq Alaihi)
Dalam riwayat lain, seperti dikisahkan Anas bin Malik, Rasulullah didatangi seorang badui yang menanyakan kapan datangnya hari kiamat. Rasulullah terkejut seraya bertanya, “Celaka apa yang kamu persiapkan untuknya?”
Badui itu menjawab, dia tidak mempersiapkan apa-apa melainkan cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Mendengar jawaban tersebut, Rasul menimpali, sesungguhnya dia akan bersama orang dicintainya.
Mereka yang mendengar jawaban tersebut bertanya, “Apakah kami pun demikian?” Rasul menjawab, “Benar.” Jawaban tersebut akhirnya membuat mereka semua gembira bukan main.
Kedua hadis di atas menerangkan kaidah syariat dan kemasyarakatan. Ikatan hati dan kebersamaan di dunia akan bertahan hingga akhirat. Seseorang yang cintanya tulus dan ikhlas kepada seseorang atau sekelompok orang di dunia, kelak dia akan bersama mereka.
Islam sebagai pandangan hidup mempunyai perspektif dalam segala hal. Mulai dari perkara besar hingga urusan kecil. Termasuk pula urusan cinta. Cinta bukan perkara sepele, melainkan sangat vital bagi hidup manusia. Karena, dengan cinta manusia bisa tetap eksis di dunia.
Oleh sebab itu, Islam juga mengatur apa dan bagaimana seharusnya cinta itu. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan pondasi agama. Perkara inilah yang mengantarkan seseorang rela melakukan amaliah ibadah yang dikehendaki syariat.
Ibnu Rajab berkata, kecintaan kepada Rasul adalah pondasi iman. Dia dikaitkan dengan kecintaan kepada Allah. Sesungguhnya, Allah telah menggandeng keduanya.
Allah pun menegaskan, tidak boleh kecintaan kepada perkara apa pun berupa keluarga, harta benda, tanah kelahiran, dan lain-lain mengalahkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dalam hadis, Nabi bersabda, “Tidak (sempurna) iman seseorang hingga aku lebih dicintai dari anaknya, orang tuanya, dan manusia seluruhnya.” (HR Bukhari). Cinta itu menuntut pembuktian. Cinta memiliki konsekuensi logis.
Tidak aneh jika seseorang kekasih atau pasangan suami istri rela melakukan apa saja untuk membahagiakan tambatan hatinya. Kita lihat mereka sering menyebut nama kekasihnya, bersenandung untuknya, mengukir kata demi kata, bahkan membelikan apa pun yang diminta.
Seharusnya, cinta kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi hal itu. Bukti kecintaan Allah adalah banyak berzikir mengagungkan asma-Nya. Cinta kepada Rasulullah ditunjukkan dengan sering bersalawat, menyebut namanya, dan mengikuti petunjuk yang dibawanya.
Ketika disebut nama Allah dan Rasul-Nya, bergetar hati dan jiwanya. Bertambah pula cintanya ketika tilawah Alquran atau tadabur hadis.
Cinta itu sendiri ada dua jenis, yaitu cinta yang berasal dari naluri manusia dan cinta karena dorongan syar’i. Cinta yang pertama berupa kecenderungan pada harta, anak, istri, dan sebagainya.
Syariat memandang cinta kategori ini sebagai fitrah manusia, hanya saja disyaratkan cinta itu jangan sampai melampaui batas. Cinta yang kedua, yakni cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta pada kepentingan Islam dan kaum Muslimin.