Jumat 18 Jan 2019 16:46 WIB

Rasa Malu, Tameng dari Perbuatan Tercela

rasa malu dan keimanan dianggap sebagai pasangan yang tak terpisahkan.

Takwa (ilustrasi).
Foto:

Abu berkata kepada Aisyah, sebenarnya ia ingin bertanya kepada Aisyah tentang sesuatu, namun ia merasa malu. Kemudian, Aisyah meresponsnya. “Tanyakan saja, tidak perlu malu. Saya ini ibumu,” ujarnya. Setelah mendapatkan jawaban itu, Abu lalu bertanya tentang orang yang berhubungan intim tetapi tak mengeluarkan sperma.

Aisyah menyampaikan apa yang pernah dikatakan Rasulullah, apabila kemaluan suami telah menyentuh kemaluan perempuan, keduanya wajib mandi. Di lain waktu, Aisyah memuji perempuan Anshar. Ia mengatakan, sebaik-baik perempuan adalah perempuan Anshar. Mereka tidak malu untuk belajar dalam rangka memahami agama.

Pada saat seseorang meninggalkan amar makruf nahi mungkar karena malu, itu bukanlah malu yang sebanarnya. Sebaliknya, jelas Mahmud al-Mishri, itu adalah kelemahan, ketidakberdayaan, dan kehinaan. Ia menjelaskan, bila melihat seorang Muslim melakukan kemungkaran, kita tak boleh membiarkannya dengan alasan malu.

Ada dua macam rasa malu ini, yaitu yang merupakan bawaan dan lainnya adalah malu yang muncul pada diri seseorang karena adanya latihan keras. Malu yang disebutkan terakhir itulah yang diperintahkan agama. Namun, ada juga sebagian orang yang membiasakan diri berakhlak malu sehingga lama-kelamaan menjadi pembawaan dirinya.

 Dua macam rasa malu inilah yang melekat pada diri Rasulullah. Rasa malu yang bersifat bawaan membuat beliau mempunyai rasa malu lebih besar dibandingkan gadis pingitan. Sementara itu, rasa malu yang diupayakan berada dalam tingkatan yang tinggi.

Ibnu Qayyim mengungkapkan, ada beberapa bentuk rasa malu yang mestinya ada pada diri seorang Muslim. Pertama, malu bertindak kriminal. Sederet makna lekat pada sikap malu ini. Rasa Malu, Tameng dari Perbuatan Tercela

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement