REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- S Von Sicard dalam Islam in Mozambique: Some Historical and Cultural Perspectives, menjelaskan, sejarah Islam di Mozambik dapat dibagi ke dalam tiga periode, yaitu: pertama, abad ke-7 hingga 15 M. Kedua, abad ke-16 M hingga kemerdekaan Mozambik 1975. Ketiga, pascakemerdekaan.
Selama periode pertama, keberadaan Muslim terbatas pada pemukiman-pemukiman di wilayah pantai sepanjang Zambezi. Menurut Eduardo do Couto Lupi yang dikutip S Von Sicard, dua orang Muslim bernama Musa dan Hassan tiba di Pulau Mozambik.
Keduanya datang dari Kilwa dan menjumpai sejumlah Muslim yang telah mendahuluinya. Kedatangan itu disebut mwinyi (muinhe atau monhe dalam bahasa Portugis). Pada abad ke-13, Samudera Hindia merupakan laut Muslim, karena tingginya lalu lintas Muslim di sana, yang kemudian menjadi fondasi bagi keberadaan permanen Muslim di Mozambik.
Pada pertengahan abad ke-15, para pedagang Arab dan Swahili membangun serangkaian kesultanan Islam dan komersial yang juga bersifat permanen di sepanjang pantai Mozambik.
Rekaman sejarah mengindikasikan bahwa pada peralihan abad ke-15 M, Sofala-terletak di selatan kota yang kini bernama Beira-dipimpin oleh seorang syekh. Sang syekh ditunjuk langsung oleh Sultan Kilwa (sekarang Tanzania). Terbentuknya daerah-daerah kantong (dengan pemimpin yang ditunjuk sultan) menandai dimulainya proses penggabungan Mozambik ke dalam dunia yang lebih luas secara kultural, ekonomi, dan agama.
Baca: Jejak Islam di Bumi Mozambik
Pada masa itu, Kepulauan Querimba atau Ilhas do Cabo Delgado memiliki bagian penduduk Muslim yang ikut serta dalam pembuatan kain bernama maluane. Kain tersebut dibuat dari sutra dan katun yang ditenun lalu dicelup dalam pewarna lokal.
Penetrasi penting Muslim lainnya adalah saat sebagian mereka berdagang dengan menempuh berbagai rute ke pedalaman dan berkembang di sepanjang Limpopo, Save, dan Lembah Rovuma. Pengaruh pesisir pada wilayah-wilayah tersebut ditandai oleh pemakaian kata-kata dari bahasa Swahili, seperti 'fumo' (yang berarti ketua), 'mwene' (kepala sub), dan 'mujoge' (pedagang Swahili). Bahkan, praktik Islam seperti khitan juga diterima dengan baik.
Perkenalan dan keberadaan Islam di Mozambik tidak berujung peperangan atau perubahan agama masif di bawah pedang, seperti yang terjadi di bagian tertentu Afrika. Islam diperkenalkan melalui perdagangan dan interaksi damai antara orang-orang Arab dan masyarakat lokal. Meski sesekali terjadi ketegangan dengan penjajah Portugis, Islam dapat hidup berdampingan dengan agama-agama tradisional, seperti Kristen, tanpa konflik yang berarti.
Von Sicard menyebutkan, berdasarkan laporan tahun 1789, Muslim yang menempuh perjalanan dari Angoche rajin menyebarkan keyakinan mereka. Abad ke-19 menjadi sebuah periode kebangkitan dan jihad yang tertolong oleh meningkatnya kontak melalui Samudera Hindia dan rute dagang menuju Afrika Tengah. Pada awal abad tersebut, diperkirakan telah terdapat sekitar 20 ribu Muslim di pedalaman pesisir Pulau Mozambik.
Islam menghadapi tantangan serius di Mozambik selama era kolonial. Sepanjang periode Estado Novo atau Portugal (1926-1974), Roman Katolik menjadi agama dominan yang dimungkinkan oleh aliansi resmi antara gereja dan pemerintah. Baru pada permulaan Perang Pembebasan, negara menurunkan level penentangnya pada Islam. Hal itu dilakukan untuk menghindarkan aliansi antara Muslim dan gerakan pembangkang.
Lalu, alih-alih menjadi alasan bersuka cita, kemerdekaan Mozambik pada 1975 justru berbuntut kondisi yang menyedihkan bagi umat beragama di sana. Hal itu disebabkan oleh partai pemenang yang berkuasa sejak Mozambik merdeka, dikenal dengan Frelimo, menerapkan konsep-konsep Marxis sepanjang Perang Pembebasan.
Setelah merdeka, pemerintah menyatakan Mozambik sebagai negara sekuler. Penetapan itu dibarengi dengan nasionalisasi seluruh sekolah dan fasilitas kesehatan. Pemerintah bahkan kemudian mengambil alih dan menjalankan sekolah-sekolah tersebut melalui institusi-institusi agama.