Kamis 06 Dec 2018 05:00 WIB

Cara Abu Hanifah Meruntuhkan Kesombongan

Majelisnya menjadi perkumpulan ahli fikih yang dikenal dengan Mazhab Hanafi

Rep: c70/ Red: Agung Sasongko
sombong,angkuh,menang sendiri  (ilustrasi).
Foto:

Sejarawan lainnya, Khatib al-Baghdadi, pernah bercerita tentang Abu Hanifah. Saat masih di Kufah, Abu Hanifah memiliki tetangga seorang pemuda tukang sepatu. Pemuda itu bekerja sepanjang hari. Malam harinya ia baru pulang ke rumah. Dari tempat kerjanya, terkadang ia membawa daging untuk di masak. Kadang pula ikan yang dibawa untuk dipanggang.

Sayangnya, ia ternyata seorang pemabuk. Sampai-sampai ketika sedang mabuk-mabuknya, tak terasa ia sering mengoceh dengan suara keras, Mereka menelantarkanku, tidak tahukah siapa yang mereka sia-siakan. Dialah pemuda yang selalu berjaga di perbatasan pada hari-hari yang mencekam.

Ketika mabuk, kata-kata tersebut diulangnya terus-menerus sambil minum. Ia tidak sadar bahwa Abu Hanifah tiap hari mendengarkan dan memperhatikan tingkah pemuda ini.

Suatu ketika, pada saat Abu Hanifah menyelesaikan shalat malamnya, suara lanturan pemuda itu tak lagi terdengar. Ia pun bergegas mencari tahu keberadaan pemuda mabuk tersebut. Di tengah jalan ada yang memberi tahu bahwa si pemuda telah diciduk petugas keamanan beberapa malam yang lalu untuk dijebloskan ke penjara. Syariat Islam berlaku bahwa seorang pemabuk akan dikenai hukuman.

Maka, esok harinya setelah menyelesaikan shalat Subuh, beliau naik ke atas keledainya untuk menemui Amirul Mukminin. Saat bertemu dengan Amir, Abu Hanifah ditanya, Ada apa engkau ke sini wahai imam?

Abu Hanifah menjawab, Begini Amir, aku punya tetangga tukang sepatu. Ia diciduk oleh petugas keamanan sejak be- berapa hari lalu. Aku bermaksud memintamu untuk membebaskannya. Karena diminta oleh seorang alim terpercaya, Amir pun mengabulkannya. Tukang sepatu itu akhirnya dibebaskan.

Dalam perjalanan pulang, Abu Hanifah masih naik keledainya. Sedangkan, pemuda itu ikut berjalan di belakangnya. Setelah sampai rumah, Abu Hanifah bertanya penuh selidik kepadanya, Eh, Nak, memangnya kita menelantarkanmu ya?

"Emmm...enggak, justru kamu menjaga dan memperhatikanku, jawabnya sam bil tersenyum malu. Terima kasih su dah men- jadi tetangga yang baik ya, ujarnya.

Setelah kejadian tersebut, pemuda itu pun bertobat, ia tak lagi mabuk-mabukan seperti dulu. Imam Abu Hanifah juga beberapa kali ditawari untuk memegang jabatan menjadi seorang hakim di Kufah, tetapi tawaran tersebut senantiasa ia to lak. Hal ini- lah di antara yang menyebabkan ia dipenjara oleh otoritas Umayyah dan Abbasiah.

Wafatnya Imam Abu Hanifah wafat di Kota Baghdad pada tahun 150 H/767 M. Imam Ibnu Katsir mengatakan, Enam kelompok besar penduduk Baghdad menshalatkan jenazahnya secara bergantian. Hal itu karena banyaknya orang yang hendak menshalatkan jenazahnya.

Pada masa Turki Utsmani, sebuah masjid di Baghdad yang dirancang oleh Mi mar Sinan didedikasikan untuknya. Masjid tersebut dinamai Masjid Imam Abu Hanifah.

Sepeninggalnya, mazhab fikihnya tidak re dup dan terus dipakai oleh umat Islam, bahkan menjadi mazhab resmi beberapa kerajaan Islam, seperti Daulah Abbasiyah, Mughal, dan Turki Utsmani. Saat ini mazhab nya banyak dipakai di daerah Turki, Suriah, Irak, Balkan, Mesir, dan India.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement