REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Arifin Ilham
Moyang kita, Nabi Adam as, tergelincir karena tidak mampu mengendalikan nafsu. Sedangkan, iblis terhempas karena angkara angkuhnya. Kakek manusia itu mampu tersadar karena nafsunya segera tunduk pada titah tobat; sedangkan diraja setan itu terbelenggu karena terjalarnya bara kesombongan yang membekap dirinya.
Dan karena itu, sebut Ibnu Hajar al-‘Asqolany, “Dosa karena nafsu masih mungkin diampuni, sedangkan dosa karena takabur (yang tak berkesudahan) tak terampuni.” Meski demikian, wahai ikhwah fillah, nafsu yang menjalar itu harus dikendalikan dan dikekang. Jika dibiarkan liar, ia akan menjadi raja yang menguasai diri kita sehingga tanpa sadar, seluruh tingkah laku kita akan disetir oleh hawa nafsu semata. Bahkan, boleh jadi akan menjangkit pula bara kesombongan kepada diri kita.
Nafsu yang terkendali akan menjadi seperti budak di hadapan raja. Maka, jiwa-jiwa yang hawa nafsunya terkontrol menjadi jiwa-jiwa yang tenang, tidak meledak-ledak, dan memiliki pancaran pesona yang menarik manusia yang berada di dekatnya.
Setan dengan seluruh sekutunya akan terus memercikkan dan mengobarkan bara nafsu dalam diri manusia sehingga keinginannya-hasratnya-gairahnya terledakan dengan liar, seliar karakter dan tabiatnya saat diusir dari surga. Tentu kita tidak ingin dikuasai oleh nafsu dan setan serta para sekutunya.
Mari sejenak saja kita kenali di antara penyebab hawa nafsu semakin liar, buas, dan sangat sulit dikendalikan. Pertama, lemahnya iman kepada Allah SWT dan Hari Akhir. Kalau saja kita sadar bahwa Allah memperhatikannya, tertenduklesulah nafsu liarnya. Apalagi ia yakin bahwa hidup ini akan berakhir dan kelak akan dimintakan pertanggungjawabannya di Mahkamah Akhirat.
Kedua, jahil alias kurangnya pemahaman terhadapa ayat-ayat Alquran dan sunah. Ketiga, mind set-nya, “Aku tidak bisa tenang kecuali bebas dan puas dengan seleraku.” Kempat, menyia-nyiakan kesempatan, “Kalaupun gue berdosa, kan masih ada waktu dan kesempatan untuk bertobat.”
Kelima, sekali diperturutkan maka akan menjadi candu, bahkan semakin menjadi. Keenam, seringnya bergaul dengan sesama pecinta hedonis yang mengumbar nafsu, “all free and be free”. Ketujuh, sering makan dan minum dari yang haram, baik zatnya maupun cara mencarinya. Karena saat yang haram itu masuk ke tubuh, ia akan menjadi energi nafsu lagi.
Kedelapan, nafsu itu liar karena suka menjauh dari ulama, orang saleh, dan majelis kebaikan. Kesembilan, yang pasti tidak ada keinginan kuat untuk hijrah, jadilah seperti hewan. “Kami ingin muliakan mereka dengan petunjuk kami, tetapi mereka lebih suka menuruti hawa nafsu mereka dan lebih mencintai dunia maka mereka pun seperti anjing, dinasihati atau tidak, mereka tetap tidak peduli dan terus menjulurkan lidahnya...” (QS Al A’raf, [7]: 176).
“Allahumma, ya Allah, selamatkan kami dari kelemahan iman, kebodohan, dan keinginan nafsu maksiat.” Wallahu a’lam.