REPUBLIKA.CO.ID, OLEH: NUR FARIDAH
Kehidupan dunia sejatinya adalah perjalanan manusia menuju atau kembali kepada Allah, asalnya. Namun, manusia sering kali lupa diri dan tujuannya karena tergoda nikmatnya kehidupan dan gemerlapnya dunia. Oleh karena itu, Allah mengingatkan dalam Alquran, "Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya." (QS az-Zumar [39]: 54).
Manusia tidak tahu ia akan dilahirkan di mana atau siapa yang melahirkannya. Tapi, ada fitrah dalam dirinya yang telah ditetapkan Allah. Bahwa ia hidup untuk tujuan tertentu dan oleh karena itu ia akan melewati sebuah jalan ke arah itu. Ada kesadaran dalam dirinya tentang Allah, Sang Pencipta. Tapi, kehidupan dunia kerap membuatnya lupa segalanya. Ia lupa dari mana berasal dan akan ke mana ia berjalan.
Allah dan Rasulullah mengingatkan dan menegaskan, manusia pada hakikatnya tengah berjalan menuju Allah. Dunia, menurut Rasulullah, sekadar tempat berteduh, persinggahan sementara, sebelum lanjut ke tujuan akhir: Allah. Rasulullah bersabda, "Bagaimana aku bisa mencintai dunia? Sementara aku di dunia ini tak lain, kecuali seperti seorang pengendara yang mencari tempat teduh di bawah pohon untuk beristirahat sejenak, lalu meninggalkannya." (HR at-Tirmidzi).
Dikisahkan, Jabir bin Abdullah pernah bersama Rasulullah. Tiba-tiba, datang laki-laki berwajah cerah, berambut rapi, berpakaian serbaputih. Kemudian, ia berkata kepada Rasulullah, "Salam, wahai Rasulullah. Apakah arti dunia ini?" Beliau menjawab, "Seperti impian orang yang tidur."
Ia bertanya lagi, "Apakah surga itu?" Beliau menjawab, "Sebagai ganti dunia bagi mereka yang mencarinya." Ia kembali bertanya, "Siapa sebaik-baik manusia?" Beliau menjawab, "Orang yang menaati Allah."
Ia bertanya lagi, Bagaimana sikap yang baik di dunia ini? Beliau menjawab, "Berkemas-kemaslah seperti orang yang mengejar kafilah". Ia bertanya lagi, "Berapa jarak antara dunia dan akhirat?" Beliau menjawab, "Sekejap mata." Setelah itu, ia pun pergi dan tidak kelihatan lagi. Rasulullah bersabda kepada para sahabat, "Laki-laki itu adalah Jibril. Ia datang untuk menjauhkanmu dari dunia dan mencintai akhirat." (HR al-Hakim).
Allah adalah tujuan sesungguhnya perjalanan manusia. Kesadaran ini akan menjadikan perjalanan manusia lebih berarti dengan banyak beribadah dan beramal saleh. Berarti tidak hanya bagi dirinya, tapi juga orang lain. Ia akan berjalan di muka bumi dengan menebarkan kebaikan kepada apa pun.
Bahkan, kepada orang yang berbuat jahat atau ingin mencelakakannya. Seluruh anggota badannya didedikasikan untuk kebaikan karena itulah yang akan dipersembahkan kepada Allah ketika ia bertemu dengan-Nya.
Tak ada manusia yang sempurna. Dalam perjalanan di dunia akan ada kesalahan dan kekeliruan. Tapi, seperti kata Nabi, sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertobat dan memperbaiki diri. Selain itu, Allah juga Maha Pemaaf dan Maha Pengampun. Dia juga Maha Penyayang. Dia akan selalu menyeru hamba-Nya, mengingatkannya untuk kembali kepada-Nya dengan jiwa yang tenang, "Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (QS al-Fajr [89]: 27-30).
Imam Hasan al-Bashri mengatakan, "Kembalilah kamu kepada balasan Tuhanmu dan kepada pemuliaan-Nya dalam keadaan ridha dengan apa yang Allah sediakan untukmu dan Allah pun ridha terhadap dirimu.
Imam al-Baghawi dalam kitab Tafsir-nya mengatakan, Wahai jiwa yang tenang terhadap dunia, kembalilah kepada Allah dengan meninggalkan dunia tersebut. Kembali kepada Allah dengan menempuh jalan menuju akhirat. Kembali kepada Allah bukan sekadar pulang tanpa membawa apa-apa, melainkan kembali dengan bekal amal saleh di dunia. Wallahu a'lam.