REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerima manfaat zakat mustahik telah ditentukan dalam Islam. Jumlah meraka disebutkan Alquran sebanyak delapan kelompok ( ashnaf tsamaniyah). Distribusi zakat, pada prinsipnya, harus mengacu pada kedelapan kelompok itu.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orangorang yang berutang untuk jalan Allah, dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah [9] : 60).
Dalam praktiknya, kebutuhan memberikan dana zakat, terutama har ta kekayaan, juga berlaku bagi keluarga tertentu. Adakalanya, sebagian orang mendistribusikan zakat itu pada keluarganya sendiri, lebih spesifik zakat harta kekayaan yang ditunaikan oleh istri, diberikan untuk suami atau sebaliknya, sang suami menyalurkan dana zakat untuk istri. Lantas, bagai mana kajian fikih Islam menyikapi kedua kasus itu?
Menurut Imam Abu Hanifah, istri tidak diperbolehkan membayarkan zakat kekayaannya untuk suami. Dalam pandangan Syafi’i dan salah satu riwayat pendapat dari Imam Ahmad, istri boleh menyerahkan zakat bagi suaminya.
Sedangkan imam Malik mengatakan bahwa, bila bagian zakat yang diberikan istri ke suami itu nantinya dipergunakan untuk menambah biaya menafkahi istri dan anaknya, maka hukum memberikan zakat tersebut bagi suami tidak diperbolehkan.
Sedangkan, jika harta itu peruntukkan tidak untuk menafkahi keluarga melainkan untuk dibelanjakan di sektor lain maka sah hukumnya istri me nyerahkan dana zakatnya untuk suami.
Mereka yang berpandangan hukum istri memberikan dana zakat bagi suami boleh, menggarisbawahi bahwa kondisi itu diperbolehkan de ngan catatan suami yang bersangkut an tergolong fakir. Karena, tidak terdapat dalil yang melarang demikian. Apalagi bila mengacu pada ayat ke-60 surah Attaubah tersebut.
Dalil tersebut bersifat umum, artinya jika suami dianggap masuk kriteria ke delapan kelompok pene rima manfaat zakat maka sah-sah saja dana zakat istri disalurkan kepada suami. Menganologikan pelarangan menyalurkan zakat istri ke suami dengan kasus penyaluran dana zakat suami untuk istri dinilai tidak tepat.
Karena, seorang istri tidak memiliki kewajiban menafkahi keluarga. Berbeda dengan suami, ia berkeh a rus an menanggung nafkah keluarga. Oleh karena itu, ia tidak boleh menya lurkan zakatnya kepada istri. Melain kan, harta yang ia berikan kepada istri adakalanya berbentuk nafkah wajib dan sedekah sunah.
Bahkan, secara jelas terdapat teks hadis yang mendukung diperbolehkan nya suami yang fakir, misalnya, mendapatkan zakat dari istri. Salah satunya, sebuah riwayat yang dinukil Bukhari Muslim dari Zainab, istri Abdullah bin Masud. Lebih jauh, teks itu menyebutkan yang demikian lebih utama.
Sedangkan, terkait kasus suami menyalurkan zakat kekayaannya untuk istri maka para ulama bersepakat hukumnya tidak boleh. Menurut mereka, suami yang sekaligus muzaki itu berkewajiban memenuhi nafkah istri dan keluarganya maka cukuplah nafkah itu baginya. Karenanya, ia tidak boleh menerima zakat kekayaan dari suami. Harta yang dimiliki oleh suami, sebagiannya juga ada hak bagi istri, tetapi bukan berupa zakat.
Karena itu pula, istri berkewajiban membayarkan zakat harta benda dari mas kawin yang dibayarkan suami. Selama, belum dibelanjakan untuk ke per luan perabot rumah, misalnya. Bila mahar tersebut masih utuh, selama mencapai nishab (sekitar 85 gram emas) dan telah lewat masa haul maka ia wajib mengeluarkan zakat dari maskawin itu.
Kadar yang dikeluarkan sebesar 2,5 persen. Se kalipun, ia telah bercerai dari suami dengan membawa separuh mas ka win, selama syaratsyarat wajib zakat harta kekayaan terpenuhi maka ia berkewajiban mengeluarkan zakatnya.