Kamis 18 Oct 2018 23:02 WIB

Ironi Auditor Halal di Tengah Mayoritas Muslim

Kebutuhan auditor halal belum terpenuhi secara maksimal.

Rep: Dea Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
 Warga mengisi formulir sertifikasi halal secara on-line di kantor Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Jakarta, Selasa (28/7).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Warga mengisi formulir sertifikasi halal secara on-line di kantor Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Jakarta, Selasa (28/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Di saat negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan dan Thailand telah mendeklarasikan diri sebagai negara ramah muslim, ironinya Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia justru masih tertinggal jauh. 

Berdasarkan data Join Investigation Team (JIT), Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga, Malaysia yang berhasil menduduki posisi pertama di berbagai sektor destinasi halal.

Berdasarkan peringkat negara yang paling banyak dijadikan tujuan wisata halal, tahun ini, bahkan Indonesia turun satu peringkat dari tahun sebelumnya. 

Bukan hanya dianggap kurang serius dalam mengembangkan wisata halal, keseriusan Indonesia dalam upaya sertifikasi produk halal juga masih sangat perlu ditingkatkan. 

 

Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aminudin Yakub mengatakan, persoalan halal, sudah menjadi fokus MUI sejak 30 tahun lalu. 

Dia juga menyadari bahwa penentuan halal atau tidaknya suatu produk bukanlah perkara mudah, mengingat perkembangan produk makanan, minuman dan kosmetik yang semakin cepat. 

Dia mengaku, hingga kini MUI memberikan sertifikasi halal pada 300 ribu produk saja, meski jumlah produk yang tersertifikasi itu semakin meningkat. 

Aminudin juga menerangkan, sejatinya MUI membutuhkan setidaknya 30 ribu auditor halal untuk memeriksa kehalalan produk yang semakin hari semakin banyak. Namun sejatinya, hingga saat ini MUI hanya memiliki sekitar seribu auditor halal dan satu LPH saja. 

“Makanan, minuman, dan kosmetik ini jumlahnya sangat banyak dan sulit diteliti sepenuhnya oleh MUI, makanya kami mengajukan untuk membentuk BPJPH sebagai lembaga jaminan produk halal,” ujar Aminudin, Kamis (18/10). 

Untuk memenuhi kebutuhan auditor halal tersebut, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bekerjasama dengan Litbang untuk pengadaan pelatihan bagi para calon auditor halal. 

“Saat ini sudah ada 20 calon LPH dan 1000 lebih calon auditor halal yang siap dilatih. Kita juga berupaya untuk menambahkannya secara bertahap,” Ketua Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Prof Ir Sukoso, Kamis.   

Menurut dia, dibentuknya BPJPH merupakan suatu bentuk keseriusan pemerintah untuk menjadikan sertifikasi produk halal sebagai sebuah mandatori yang jelas dan tertera dalam undang-undang. 

BPJPH, kata dia bertugas membentuk LPH yang nantinya akan menaungi para auditor halal. Pembentukan LPH, kata Sukoso juga melalui proses kerjasama BPJPH dengan universitas yang terjamin kredibilitasnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement