REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Makmum Nawawi
Suatu hari, Abdullah bin Umar, Urwah bin Zubair, Mush'ab bin Umair, dan Abdul Malik bin Marwan berkumpul di depan Ka'bah. Mush'ab berkata kepada teman-temannya tersebut, "Berangan-anganlah kalian." "Kamu dulu yang memulai," jawab mereka.
Mush'ab berujar, "Aku berangan-angan ingin menguasai Irak serta menikahi Sukainah binti al-Husain dan A'isyah binti Thalhah bin Ubaidillah." Kenyataannya, Mush'ab berhasil mendapatkan apa yang menjadi angan-angannya tersebut. Ia memberikan maskawin kepada masing-masing istrinya sebesar 500 ribu dirham. Dan, ketika memboyong mereka, ia juga mengeluarkan uang sebanyak itu.
Urwah bin Zubair berangan-angan bisa menguasai ilmu fikih dan hadis, kemudian kenyataannya apa yang menjadi angan-angannya tercapai. Abdul Malik bin Marwan berangan-angan menjadi khalifah. Faktanya, apa yang menjadi angan-angannya juga terkabul. Sementara Abdullah bin Umar berangan-angan ingin masuk surga.
Itulah sebagian dari penggalan aktivitas kehidupan para sahabat, murid-murid teladan Nabi SAW. Dan, apa yang mereka lakukan sesungguhnya merupakan praktik nyata dari butir-butir pemikiran yang direkomendasikan oleh para motivator kelas dunia di era modern kita sekarang ini; mereka sering mengutarakan bahwa awal dari kesuksesan seseorang itu bermula dari sebuah mimpi atau angan-angan. Semakin sering seseorang membangun sebuah mimpi, keinginan, atau cita-cita, semakin besar pula peluang seseorang untuk menggapai kesuksesan.
Impian atau cita-cita inilah yang kemudian mengkristal menjadi sebuah keinginan yang besar dan menghunjam, yang menggebah dan mendorong seseorang untuk mewujudkannya secara nyata. Bahwa cita-cita itu menjadi kenyataan atau tidak, adalah persoalan lain, hanya Nabi bersabda: "Barang siapa yang berhasrat pada suatu kebajikan, dan tidak jadi melakukannya, niscaya Allah mencatatnya di sisi-Nya sebagai suatu kebajikan yang sempurna." (HR Bukhari).
Hanya berbeda dengan kaum materialis dan hedonis, impian atau cita-cita yang dibangun oleh seorang Muslim seyogianya tak hanya sebatas dengan remeh-temeh duniawi yang kecil, tapi juga berdimensi ukhrawi yang jauh lebih agung. Dan, itulah yang disukai Allah, seperti sabda Nabi: "Sesungguhnya Allah menyukai hal-hal yang luhur, dan tidak menyukai hal-hal yang rendah." (HR Thabarani).
Secara sosial, kita sendiri kadang sering terkecoh dan hanya berkutat mengurusi persoalan-persoalan kecil seraya melupakan beragam persoalan yang besar dan fundamental yang dihadapi oleh umat ini. Di antaranya masalah menghidupkan nilai-nilai agama dan akhlak dalam masyarakat, menjalin persatuan dan kerja sama di antara elemen umat, atau perihal bahaya perpecahan dan perseteruan di kalangan umat.
Sementara Alquran juga mengecam orang yang bercita-cita rendah dan melukiskan mereka dengan gambaran yang sangat buruk, misalnya ketika Allah mengisahkan ucapan Nabi Musa AS kepada kaumnya, "Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah, sebagai pengganti yang lebih baik?" (al-Baqarah [2]: 61). Sayyid Quthb menafsirkan: "Apakah kamu menginginkan kehinaan, padahal Allah menginginkan kemuliaan bagi kalian?"