REPUBLIKA.CO.ID, Integritas ulama di hadapan penguasa sangat tampak jelas. Banyak keteladanan yang dikisahkan tentang bagaimana mereka menyampaikan nasehat secara bijak ke penguasa yang zalim, tanpa harus mencaci dan menebar fitnah.
Kitab dengan judul lengkap Maqamat al-‘Ulama Bain Yaday al-Khulafa’ wal al-‘Umara’ karya Imam Abu Hamid al-Ghazali, menguak beberapa di antara contoh keteladanan itu.
Ketika itu Amar bin ‘Abid, diminta memberikan nasehat langsung oleh khalifah al-Manshur. Sang khalifah meski dikenal kecintaannya terhadap ilmu, namun pada saat yang sama tersohor dengan tangan besinya. Pemimpin tertinggi Dinasti Abbasiyah itu tak segan memenjarakan ulama bahkan berlaku bengis kepada mereka.
Amr lantas menyampaikan nasehatnya,”Ingatlah Allah jika Anda memiliki misi tertentu, Ingatlah Allah di tangan Anda saat bersumpah dan dalam vonis Anda.”
Sang khalifah menangis. “Lanjutkan wahai Abu Utsman.”
Amr mengatakan, ”Waspadai rumah yang Anda masuki dengan susah payah, dan yang Anda tinggali secara gaduh, lalu Anda keluar darinya dengan diusir.” Nasehat ini semakin membuat al-Manshur menangis.
Kisah lain yang dinukilkan Imam al-Ghazali adalah kisah integritas Syabib bin Syaibah di hadapan khalifah al-Mahdi, putra al-Manshur. Tak jauh berbeda dengan sang ayah, al-Mahdi juga menerapkan kebijakan dan pola kepemimpinan yang sama.
Dia terkenal otoriter dan sangat ketat terhadap mereka yang dianggap lawan politik dan membahayakan singgasananya, termasuk dari kalangan ulama.
Tanpa basa-basi, setelah mengucapkan salam, Syabib menyampaikan petuahnya. “Wahai pemimpin umat Islam. Sesungguhnya Allah SWT ketika membagi rezeki, Dia tidak ridha untukmu dari dunia kecuali yang terbaik dan tertinggi. Maka janganlah engkau berpuas diri dari akhirat, kecuali persis seperti apa yang telah Allah karuniakan kepadamu dari dunia. Bertakwalah kepada Allah. Bukalah pintu maaf dalam kuasamu. Lawanlah hawa nafsu.”