REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alkisah, sebuah keluarga hidup serbakekurangan di Tanah Arab. Usut punya usut, pemicu kondisi terpuruknya keluarga tersebut, yaitu sang kepala keluarga, yang bernama Abbad, sangat pemalas.
Ia tak pernah mau bekerja. Sehari-hari ia menghabiskan waktu untuk bersantai-santai dan bersenang-senang di rumah. Terkadang, istrinyalah yang disuruh untuk bekerja membanting tulang demi keluarganya.
Suatu hari, Imam Abu Hanifah lewat di depan rumah Abbad. Tampak dari jauh Sang Imam tersebut berjalan ke arah Abbad, ia pun telah mempersiapkan sebuah skenario agar bisa memperoleh santunan dari Sang Imam.
Sambil menangis tersedu-sedu, dengan suara keras Abbad pun mengeluh. “Nasibku sungguh malang sekali. Akulah orang termalang di dunia ini. Sejak pagi aku dan keluargaku belum makan sesuap nasi pun. Badanku pun menjadi lemah. Semoga ada orang yang mendengar rintihanku ini dan memberi kami sedekah,” ujarnya.
Mendengar pengaduan tersebut, Abu Hanifah pun tersentuh. Ia ingin menolong keluarga malang tersebut, tapi ia ragu karena tahu gelagat Abbad yang sangat malas bekerja tersebut.
Abu Hanifah pun akhirnya punya ide. Ia kembali pulang ke rumahnya dan memutuskan untuk membantu keluarga Abbad. Abu Hanifah mengambil uang dan makanan, lalu dibungkus dengan sebuah kertas. Sebuah surat untuk Abbad tertulis pada lembaran kertas itu.
Isi surat berbunyi: “Kawan, kau tak perlu mengeluhkan nasibmu hingga seperti itu. Selalu ingatlah pada kemurahan Allah dan jangan pernah lelah memohon padanya. Janganlah masuk dalam lembah keputusasaan, tetaplah berusaha kawan.”
Sesampainya di kediaman Abbad, Abu Hanifah meletakkan bungkusan beserta surat tersebut tepat di depan rumah. Sang pemalas pun melihatnya, ia kemudian mengambil bungkusan tersebut dan bergembira bahwa skenario mengemisnya tadi berhasil. Surat tersebut dibacanya, tapi tak diperhatikannya lebih lanjut. Dibuang begitu saja.