REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Sa'adi mengatakan, MUI beberapa tahun belakangan ini merasa prihatin terhadap munculnya perilaku masyarakat yang mudah tersulut oleh tindakan radikal dan ekstrem. Hal itu disampaikannya saat menjadi pembicara dalam seminar yang dilaksanakan Badan Penanggulangan Ekstremime dan Terorisme (BPET) Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta Rabu (3/10).
Seminar tersebut mengusung tema Penanggulangan Bahaya Radikalisme dan Ekstremisme di Indonesia. Zainut mengatakan, MUI perilaku radikal dapat berbentuk tindakan dan pernyataan verbal. Perilaku atau tindakan radikal berwujud segala tindakan atau perilaku yang menyerang dan mengandung unsur kekerasan.
"Sedangkan pernyataan verbal yang masuk katagori radikal yaitu segala bentuk pemikiran diskursif atau pemikiran radikal yang tidak pernah melakukan aksi kekerasan dan radikal serta mengandung unsur intoleransi terhadap kelompok yang berbeda," kata Zainut saat pidato pembukaan seminar, Rabu (3/10).
Ia menerangkan, pada level perilaku verbal orang dengan mudahnya menyalahkan orang lain dan intoleran terhadap perbedaan. Menyerang dan menyalahkan pihak lain secara verbal. Penyebaran berita dan konten yang bermuatan kebencian pada pihak lain serta konten yang mengandung unsur hoaks.
Mendasarkan pada berita hoaks dan sikap intoleran kemudian dapat menggerakkan seseorang untuk melakukan perbuatan yang dikategorikan intoleran dan ekstrem. Kemudian, perilaku radikal pada tataran praktis merujuk pada adanya tuntutan perubahan dengan cara kekerasan, drastis dan ekstrem.
"Kondisi demikian dipicu di antaranya oleh ketidakpuasan pada kondisi yang ada, sehingga menuntut adanya perubahan segera, padahal perubahan secara alamiah dilakukan melalui suatu tahapan, sehingga prosesnya dapat berjalan secara natural," ujarnya.
Menurut Zainut, fenomena perilaku masyarakat belakangan ini yang mengandung unsur radikal, intoleran dan ekstrem pada dasarnya merupakan indikasi patologi sosial (masyarakat yang sedang sakit). Secara faktual patologi sosial mewakili semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas, kekeluargaan, hidup rukun dengan tetangga, disiplin, kebaikan dan taat pada hukum formal. "Pendek kata, secara sosiologis ada sekelompok masyarakat di negara ini yang secara patologis sedang bermasalah," ujarnya.