REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah menjelaskan, kewajiban sertifikasi halal untuk semua produk pada 2019 sejalan dengan kemauan pasar internasional yang semakin tinggi. Mereka tidak sekadar menginginkan produk sehat dan bersih, melainkan produk halal yang telah tersertifikasi.
Ikhsan menjelaskan, kemauan pasar tersebut baru disadari oleh sejumlah negara, termasuk Uni Emirat Arab. Mereka tidak lagi menjual produk bersih, sehat dan halal, juga produk yang telah mendapatkan sertifikat dari lembaga internasional. "Dengan produk kita disertifikasi, otomatis akan meningkatkan daya saing kita di pasar global yang sudah semakin aware dengan halal," ujarnya ketika dihubungi Republika, Kamis (13/9).
Menurut Ikhsan, kewajiban sertifikasi halal memiliki berbagai keuntungan, termasuk sebagai investasi pelaku usaha. Kewajiban ini akan menuntut pengusaha untuk lebih perhatian terhadap kebersihan dan kesehatan. Otomtatis, cara pengolahan, pengemasan dan display yang dulu seadanya, nantinya akan diatur sesuai ketentuan standarisasi halal.
Dari sekadar tuntutan, pengusaha akan terbiasa dengan standar yang sudah ada. Jangka panjangnya, produk Indonesia yang sudah mengikuti ketentuan tersebut dapat berkompetisi dengan produk berkualitas dari negeri lain.
Ikhsan mengakui, tingkat kepedulian pengusaha terhadap sertifikasi halal masih terbatas pada pelaku usaha yang berskala besar. Mereka telah menganggapnya sebagai sebuah investasi, bukan beban. "Berbeda dengan level UKM yang menganggap sertifikasi ini costly," ujarnya.
Tapi, pandangan tersebut tidak serta merta menjadi kesalahan pelaku usaha. Ikhsan menjelaskan, pemerintah harus melakukan edukasi tentang pentingnya produk dan sertifikat halal, terutama kepada pelaku UKM. Bahkan, pemerintah juga seharusnya memberi insentif ke mereka seperti membantu dalam pembiayaan sertifikat.
Ikhsan menyayangkan keterlibatan pemerintah yang masih minim dalam membantu pelaku usaha untuk mendapat sertifikat halal. Ia mencontohkan pemerintah Korea Selatan yang memberi subsidi 80ribu won atau setara Rp 100 juta untuk tiap pengusaha dalam memperoleh sertifikat.
Tidak hanya dalam mendapatkan sertifikat, pemerintah juga harus aktif membantu pengusaha memperluas pasar internasional. Misalnya, pemerintah Taiwan yang memberi subsidi setara Rp 40 juta kepada satu pengusaha tiap tahun untuk mereka mengekspansi pasar ke luar negeri. "Jadi, pemerintah tidak sekadar mengatur, tapi juga berkorban untuk memberikan subsidi, terutama kepada UKM," ucapnya.