Selasa 21 Aug 2018 16:16 WIB

Bangkitnya Syiar Islam di Guinea

Sejarah mencatat, agama Islam sudah hadir di Guinea sejak abad 10 Masehi.

Jamaah MAsjid Conakry
Foto: AFP
Jamaah MAsjid Conakry

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Menyebut nama Guinea, mungkin tak banyak yang mengenalnya. Sebab, negeri ini yang terekspos, khususnya oleh media di Indonesia. Karena itu, wajarlah bila banyak orang tak mengenal negeri berpenduduk sekitar 7,8 juta jiwa ini.

Guinea adalah sebuah negara yang terletak di Afrika Barat. Negeri ini pernah mengalami masa kelam akibat kolonisasi (penjajahan). Akan tetapi, Guinea punya keistimewaan. Ia adalah satu-satunya negara eks jajahan Portugal yang berpenduduk mayoritas Muslim. Saat ini, sekitar 85 persen dari 7,8 juta penduduk Guinea beragama Islam.

Sejarah mencatat, agama Islam sudah hadir di Guinea sejak abad 10 Masehi. Pada pertengahan abad 18 M, penjajah Portugis menguasai wilayah tersebut, diikuti kemudian oleh Prancis. Bahu-membahu para pejuang Muslim berusaha mengusir kaum kolonialis.

Tokoh pejuang yang terkenal adalah Almamy Samory Toure. Sampai tahun 1958, Guinea memperoleh kemerdekaannya. Umat Muslim mendirikan pemerintahan berdasarkan Islam, yang bertahan hingga beberapa dekade kemudian.

Gelombang kristenisasi

Sejak itulah, segenap rakyat bahu-membahu untuk membangun kesejahteraan. Negara seluas 245.857 kilometer persegi ini masih menghadapi aneka masalah, terutama kemiskinan dan keterbelakangan. Tapi, ada pula persoalan yang tak kalah serius yang dihadapi umat Islam, yakni gencarnya praktik Kristenisasi.

Aktivitas itu dinilai sudah cukup memprihatinkan. Pada beberapa tahun belakangan, terutama sejak awal 2000, misionaris kian menggebu menyebarkan ajarannya di kalangan warga Muslim. Beberapa lembaga asing diduga berada di belakang kegiatan tersebut.

Sebenarnya, masalah ini sudah berlangsung lama. Para tokoh Islam pernah menolak keberadaan misionaris, serta mengusirnya ke luar negeri, tepatnya tahun 1968. Namun, dua dekade berikutnya, seiring pergantian kekuasaan, Guinea menerapkan sistem demokrasi, yang berimbas pada munculnya kebijakan kebebasan beragama.

Meningkatnya aktivitas misionaris ini bisa ditilik dari sejumlah indikasi. Antara lain, para misionaris mendirikan stasiun radio, penerjemahan Injil ke dalam bahasa Pular, mengembangkan bidang sastra, serta membangun sarana pendidikan.

Tak tanggung-tanggung, target penyebaran agama Kristen adalah komunitas suku Fulani atau Fulbe (Futa Djalon). Merekalah suku asal tokoh Muslim kharismatik Almamy Samory Toure. Suku Fulani berjumlah sekitar 300 ribu jiwa dan terkonsentrasi di Guinea bagian tengah.

Meskipun tidak ada catatan pasti, beberapa warga tertarik beralih keyakinan. Suku terbesar kedua, yakni Maninka juga menjadi sasaran. Kebanyakan mereka tinggal di Kota Kankan. Dari laman sim.org, diketahui bahwa komunitas suku Maninka berprofesi sebagai petani, petambang, serta pedagang. Mungkin karena inilah, gerakan misionaris begitu mudah masuk ke Guinea.

Agama Islam adalah agama yang dianut sebagian besar anggota suku ini. Namun begitu, pengetahuan agama yang mereka miliki masih sangat terbatas. Tentu saja, masalah tersebut perlu mendapat atensi khusus. Para ulama dan tokoh agama setempat gencar mencari solusi untuk mengantisipasi kian meluasnya proses Kristenisasi ini.

Kembali ke masjid

Salah satunya dengan penguatan akidah dan keimanan di kalangan umat. Tokoh ulama Guinea, Sheriff Cheikh Hatab Hydara, menekankan pentingnya meningkatkan ukhuwah Islamiyah dalam membendung gerakan misionaris. Tak hanya bagi komunitas Islam Guinea, tapi juga di seluruh dunia. Selain persoalan ini, kalangan Muslim Guinea juga dihadapkan pada persoalan aneka sosial kemasyarakatan yang membelenggu umat.

Karena itu, Hatab Hydara menyerukan agar umat berupaya sekuat tenaga untuk keluar dari krisis keimanan. Untuk itu, cara terbaik adalah dengan kembali ke masjid, dan memakmurkan rumah ibadah itu. Bak gayung bersambut, imbauan ini ditangkap oleh sejumlah kalangan dengan membuat program penguatan peran masjid.

Adanya bantuan dari luar negeri semakin meringankan langkah. Belum lama, masjid terbesar yang berada di ibu kota Conakry, diresmikan penggunaannya setelah mengalami renovasi. Sebagian dana berasal dari organisasi keagamaan luar negeri.

Selain bertujuan memperkukuh iman, perluasan masjid pun dinilai mendesak karena kian bertambahnya jumlah penduduk Muslim. Sehingga, tidak mengherankan, umat sangat mengharapkan tersedianya sarana ibadah yang representatif agar pembinaan agama dapat berjalan efektif.

Kini, masjid Conakry sanggup menampung 600 hingga seribu jamaah. Setelah diresmikan, sambung Hatab Hydara, ia menginginkan aspek keimanan dan moral umat dapat ditingkatkan. Hanya dengan itulah, setiap godaan yang bisa meruntuhkan bangunan akidah dapat disingkirkan.

Organisasi serupa yang membiayai renovasi masjid Chonakry, yakni Mosque Appeal yang berbasis di London, juga aktif memberi bantuan dan asistensi di bidang pendidikan agama, kesehatan, sosial, serta kemasyarakatan. Hatab Hydara, ketua organisasi ini, mengungkapkan, pihaknya mengarahkan kegiatan demi meningkatkan kapasitas sumber daya umat Islam.

Gerak langkah organisasi tersebar di sejumlah negara Afrika Barat. Kita ingin agar umat berdaya guna dan menjadi manusia seutuhnya sesuai ajaran Alquran dan hadis,” katanya menegaskan.

Di kompleks masjid, disediakan sarana pendidikan agama. Menurut Hatab, kegiatan pendidikan terutama untuk mempelajari sekaligus menghafal Alquran. Siswanya berasal dari kelompok usia yang beragam, dan aneka latar belakang sosial.

Oleh sebab itulah, dia menggarisbawahi bahwa renovasi masjid hendaknya menjadi momentum terbaik guna memupuk keimanan, akidah, serta ukhuwah di kalangan umat. Keimanan yang kuat tidak akan goyah hanya dengan iming-iming materi sehingga beralih keyakinan.

Di tingkat akar rumput permasalahan yang mengemuka cukup pelik. Bahkan, sempat terjadi gesekan antarumat. Pada awal tahun, bentrokan fisik meletus di Kota Nzerekone. Beberapa insiden juga terjadi di tempat-tempat lain, yang terkadang dipicu oleh persoalan sepele.

Dikutip dari laman voa-islam.com, ketegangan antarkomunitas memaksa pemerintah turun tangan. Menteri Urusan Agama, Koutoubou Moustapha Sanoh, memfasilitasi pertemuan tokoh dan pemimpin dua agama. Dialog dimaksudkan untuk mencari solusi yang bisa menciptakan situasi kondusif.

Gigih Melawan Penjajah

Mayoritas penduduk Guinea beragama Islam. Kondisi itu terwujud setelah melalui sejarah panjang. Islam masuk ke negara ini sejak abad ke-10, yang dibawa oleh para pedagang Muslim Afrika Barat yang mengembara hingga ke wilayah-wilayah jauh di benua itu.

Dengan cepat, agama Islam diterima secara terbuka. Ketika itu, Guinea termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Malinke, Shonghai, serta Ghana. Eksistensi Islam semakin kuat pada abad ke-15 seiring kedatangan suku Fulani (Fulbe) yang berasal dari Afrika Tengah.

Mereka pun berangsur menjadi komunitas suku dominan di Guinea. Tak hanya itu, sebagian besar anggota suku memilih menjadi Muslim. Sebelumnya, mereka adalah penganut animisme, sama halnya dengan kebanyakan suku-suku tradisional di Afrika.

Suku Fulani mempelajari dari juru dakwah yang seringkali hadir ke wilayah itu. Karena itu, sejarah mencatat anggota suku Fulani merupakan penegak syariat Islam yang gigih di Guinea. Ajaran agama Islam menuntut gerak langkah keseharian mereka, baik di bidang sosial, kesehatan, maupun kemasyarakatan.

Pada awal abad ke-19, kekuatan kolonial mencengkeram Guinea. Penjajah Portugis yang berkuasa kemudian menghentikan kebijakan perdagangan budak. Meski begitu, hal itu tidak lantas memengaruhi rute perdagangan budak di pasar gelap.

Penduduk lokal tidak tinggal diam dengan penindasan itu. Mereka angkat senjata untuk mengusir penjajah. Dimotori oleh suku Fulani, mereka menyerukan jihad demi menegakkan kebebasan dan keadilan. Perlawanan hebat dari suku Fulani berhasil membebaskan sebagian wilayah dari pengaruh asing hingga tahun 1879.

Namun, sekitar tahun 1898, masuklah kaum kolonialis Prancis. Dengan teknologi perang dan taktik jitu, mereka sukses mengalahkan pemimpin Guinea yang sedang berkuasa, Almamy Samory Toure. Akan tetapi, dia terus melanjutkan perjuangan dalam rangka mengusir penjajah dari bumi Guinea.

Berturut-turut muncul pejuang Muslim yang gigih. Antara lain, Karamoko Alfa, yang juga pemimpin suku Fulani. Tampil pula Alfa Yaayaa. Selama beberapa tahun dia menjadi panglima perang sebelum akhirnya ditangkap dan dipenjara pada tahun 1905.

Baru pada tahun 1958, Guinea memperoleh kemerdekaan. Semenjak itu, segenap masyarakat Muslim berjuang menegakkan syariat di negara ini. Islam menjadi agama dominan. Pemeluknya mencakup sekitar 85 persen dari populasi penduduk.

Kemerdekaan juga membawa atmosfer religiositas yang lebih terbuka pada perbedaan. Pemerintah memberi kebebasan bagi setiap penduduk untuk menjalankan praktik keagamaan dan kepercayaan masing-masing.

Di ibu kota Conakry, dari satu juta jiwa penduduknya, hampir 90 persennya adalah umat Muslim. Mereka pun dengan leluasa beribadah serta menempuh pendidikan agama. Kehidupan beragama cukup kondusif meskipun di beberapa wilayah sempat muncul gesekan. Tetapi, dengan dialog antaragama, masalah itu dapat diselesaikan bersama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement