REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi mengusulkan persamaan hak waris bagi perempuan, Senin (13/8). Negara Muslim Afrika Utara, yang menggulingkan penguasa Zine El Abidine Ben Ali pada 2011 itu, telah memberikan perempuan hak lebih dari negara-negara lain di kawasan itu.
Tahun lalu Tunisia juga telah mengizinkan wanita Muslim menikahi pria non-Muslim. Langkah presiden Tunisia ini mendapat kecaman dari sebagian masyarakat. Ribuan orang berdemonstrasi pada Sabtu (11/8) di depan parlemen untuk menentang perubahan aturan waris yang telah sesuai dengan hukum Islam.
Dalam sistem saat ini, laki-laki memperoleh hak waris dua kali lipat dari yang diterima perempuan. "Saya mengusulkan kesetaraan warisan untuk menjadi hukum," ujar Presiden Beji Caid Essebsi dalam sebuah pidato.
Untuk mengakomodir oposisi dari kaum konservatif, Essebsi memberi beberapa pengecualian. Ia mengatakan keluarga yang ingin melanjutkan alokasi berdasarkan hukum Islam masih dapat melakukannya.
Parlemen perlu memutuskan sebuah rancangan undang-undang untuk hal itu. Ribuan wanita dan pria juga berunjuk rasa di kota Tunis pada Senin malam untuk menuntut hukum memberi perempuan hak warisan yang sama.
Tunisia diperintah oleh koalisi Islamis moderat dan kekuatan sekuler yang telah mengelola transisi demokrasi sejak 2011. Ini menghindari pergolakan yang terlihat di Mesir, Libya atau Suriah.
Mereka telah sepakat pada 2014 tentang konstitusi yang memberikan hak-hak politik yang luas, membatasi peran agama dan mengadakan pemilihan bebas. Essebsi, seorang politikus sekuler, pada Agustus 2017 membentuk komite untuk menyusun proposal dalam memajukan hak-hak perempuan. Ia memperoleh dukungan dari para perempuan yang berpikiran sekuler.
Meskipun Tunisia dianggap sebagai satu-satunya negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi dalam 'Arab spring', namun pengangguran yang tinggi mendorong banyak pemuda Tunisia ke luar negeri untuk bergabung dengan pemberontakan.