REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tradisi ilmiah sepanjang sejarah peradaban Islam mengalami pasang surut, seperti lini peradaban lainnya. Perpustakaan menjadi salah satu bagian terpenting yang menyokong laju dinamika ilmu pengetahuan.
Dalam catatan sejarah, menurut John L Esposito, Ensklopedi Oxford Dunia Islam Modern mengungkapkan koleksi perpustakaan pertama muncul pada periode Dinasti Umayyah. Di masa itu, telah terdapat aktivitas inventarisasi yang berkaitan dengan kepustakaan dan pengumpulan buku.
Pangeran Khalid bin Yazid (704 M) adalah seorang sastrawan sekaligus kolektor buku. Koleksi-koleksi awal banyak didominasi oleh perpustakaan masjid, perorangan, khalifah, menyusul kemudian lembaga pendidikan. Masjid kala itu masih memegang peran utama dalam peredaran buku.
Ketika Khalifah al-Manshur berkuasa, ia mendirikan biro penerjemahan resmi di Bahgdad. Biro ini awalnya bertugas sebagai pusat alih bahasa karya-karya dari dunia luar ke dalam bahasa Arab atau sebaliknya.
Lembaga ini merupakan embrio dasar berdirinya Baitul Hikmah yang dipelopori oleh Khalifah al-Ma'mun pada 830 Masehi. Selain berfungsi sebagai lembaga penerjemah, Baitul Hikmah menjalankan peran sebagai perpustakaan terbesar pertama dalam sejarah Islam.
Eksistensi perpustakaan tersebut mendorong berdirinya lembaga serupa di sejumlah wilayah. Di Kairo Mesir, Dinasti Fatimiyah, mendirikan Dar al-Ilmi. Di Kordoba, Spanyol, keturunan Bani Umayyah membangun perpustakaan besar yang menyimpan tak kurang dari 400 ribu koleksi buku.
Geliat penulisan pun meningkat setelah kertas mulai dikenalkan di dunia Islam pada abad kedelapan Masehi. Penggunaan kertas itu kian populer dan memunculkan ragam profesi baru, salah satunya warraq atau panyalur dan penyalin kertas.
Pada 987 M, Ibn Nadim yang tersohor sebagai warraq menulis sebuah kepustakaan penting dengan karyanya yang berjudul al-Fihrist. Buku itu berisi tentang daftar-daftar buku berikut isinya secara umum. Kesemua buku itu adalah karya yang pernah ia tangani.
Kepustakaan selanjutnya, dikembangkan oleh cendekiawan ternama asal Istanbul, Hajj Khalifah. Ia membuat daftar kitab-kitab klasik dilengkapi uraian singkat isinya. Total keseluruhannya berjumlah 14.500 judul buku.
Sayangnya, memang buku-buku yang ada sepanjang sejarah kerap menjadi sasaran perusakan, baik oleh bencana alam atau ulah tangan manusia. Sejarah mencatat, tentara Mongol di Bahgdad pernah menghancurkan secara massal karya-karya Muslim saat itu. Pada masa inkuisisi Spanyol terjadi pemindahan ribuan naskah dari dunia Islam ke perpustakaan personal di Barat. Paling terkenal ialah Perpustakaan Inggris Bibliotheque Nasional Perancis.
Pada abad ke-20, kondisi perpustakaan dan pustakawan yang agak memprihatinkan mendorong otoritas sejumlah negara untuk mendirikan perpustakaan nasional untuk meninventarisasi koleksi-koleksi sarjana Muslim, seperti yang dilakukan oleh Yordania dan Mesir. Tapi, tetap saja pamor perpustaan tersebut kurang. Bahkan, kalah dengan perpustakaan umum. Di beberapa negara, perpustakaan umum justru lebih diminati, seperti di Turki, Yordania, Pakistan, dan Malaysia.