Jumat 29 Jun 2018 11:11 WIB

Trump Kecewakan Komunitas Muslim Amerika

Umat Islam turut andil dalam membangun bangsa dan negara Amerika.

Rep: Umi Nur Fadillah/ Red: Agung Sasongko
Muslim Amerika
Foto: fiqhislam
Muslim Amerika

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Dawud Walid, seorang Muslim Amerika, sudah puluhan tahun tinggal di sana. Ada lebih dari 10 generasi keluarganya yang tinggal di Amerika.

“Saya juga satu dari puluhan ribu veteran militer Amerika-Muslim,” kata dia dilansir di the Root, Rabu (27/6).

Mantan prajurit Muslim Amerika itu saat ini menjabat sebagai direktur eksekutif Dewan Hubungan Amerika-Islam. Ia mengaku melayani dengan hormat Amerika Serikat bersama Angkatan Laut. Dia pernah mendapatkan dua medali Prestasi Angkatan Laut dan Korps Marinir, sementara ditempatkan di luar negeri.

“Seperti anggota layanan lainnya, saya bersumpah untuk menegakkan konstitusi kita,” ujar Walid.

Pengabdiannya itu semata-mata untuk mempertahankan konstitusi dan janji kebebasan beragama. Saat ini, Walid bergabung dengan beberapa warga Amerika-Muslim lainnya menggugat Presiden AS Donald Trump, beberapa hari setelah ia mengeluarkan perintah eksekutif larangan pertamanya terhadap Muslim pada Januari 2017. Ia menganggap kebijakan itu tidak konstitusional dan diskriminatif.

photo
Infografis Trump Rayu Dunia Islam

“Gugatan kita, seperti juga banyak lainnya yang diajukan terhadap larangan Muslim, adalah tentang kebebasan beragama untuk semua,” ujar dia.

Ia beranggapan larangan Trump yang ditujukan pada Muslim itu bertujuan mengecualikan Muslim dari Amerika Serikat. Ia meyakini, larangan itu tidak hanya didasarkan pada kebencian, tetapi jjuga ketidaktahuan akan sejarah dasar Amerika.

“Belum pernah ada Amerika tanpa Islam dan Muslim. Islam berakar di Amerika sejak awal mulanya,” kata Walid.

Ia mengisahkan Muslim adalah pribumi untuk kisah Amerika. Muslim Amerika telah membantu membangun bangsa dan menjadi bagian dari Amerika sejak sebelum negara itu menjadi sebuah bangsa.

Sekitar 30 persen orang Afrika yang diperbudak dibawa ke pantai itu selama perdagangan budak trans-Atlantik. Mereka adalah Muslim. Mereka dilarang mempraktikkan Islam oleh para majikan. Hari ini, jutaan Muslim Amerika adalah keturunan mereka yang dibawa ke benua itu dalam perbudakan berabad-abad lalu.

Meskipun demikian, media berita dan hiburan arus utama, selama bertahun-tahun, secara salah menggambarkan Muslim Amerika sebagai orang luar, meskipun ada Islam dan sejarah umat Islam di Amerika. Ia beranggapan, sekarang Trump mencoba mengeksploitasi kesalahpahaman itu dan memajukan ide palsu ketika mempromosikan larangan Muslim-nya.

Pada Ahad ini, Mahkamah Agung menutup mata terhadap kefanatikan terang-terangan pemerintahan Trump. Walid meyakini, itu keputusan diskriminasi agama dan etnis “lampu hijau” yang bertentangan dengan prinsip-prinsip inklusif yang AS cita-citakan.

Alih-alih memperkuat gagasan bahwa Amerika menyambut orang-orang di mana pun mereka dilahirkan, seperti apa penampilan mereka, atau bagaimana mereka berdoa, Mahkamah Agung malah menjunjung larangan didorong oleh sentimen anti-Muslim. Mahkamah Agung telah salah pada keputusan besar sebelumnya, dan pengadilan Roberts telah bergabung dengan warisan yang menyedihkan itu.

photo
Muslim Amerika

Ia menyayangkan pengadilan tertinggi di AS membiarkan kepemimpinan Trump mendiskriminasi atas dasar agama. Keputusan pekan ini menyerang komunitas Muslim dan membuka pintu bagi diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah dan pengadilan terhadap kelompok etnis dan agama lainnya.

Larangan Muslim tidak hanya menolak visa bagi orang-orang dari negara-negara mayoritas Muslim tertentu. Mereka juga mengambil hak konstitusional warga negara Amerika, termasuk mereka yang leluhurnya telah berada di Amerika selama berabad-abad.

Dengan kata-kata dan tindakannya, Presiden telah mengirim pesan kepada Muslim Amerika bahwa mereka kurang disukai oleh pemerintah federal daripada orang Amerika dari agama lain. Ini adalah pelanggaran jelas dari klausul pendirian Konstitusi AS.

Pesan fanatik yang dikirim oleh Presiden juga telah menyebabkan keluarga Amerika dan anak-anak Muslim, serta mereka yang dianggap Muslim, menjadi sasaran meningkatnya serangan kebencian dan diskriminasi. Konstitusi AS dimulai dengan prinsip kebebasan beragama.

photo
Donald Trump

Sebagai suatu bangsa, Amerika terus berusaha menjadikan prinsip dasar ini menjadi kenyataan. Tidak ada yang harus takut atas keselamatannya karena warna kulit atau bagaimana beribadah.

“Kita tidak dapat melarang orang berdasarkan agama mereka,” kata Walid.

Ia bersama Muslim Amerika lainnya akan terus berjuang untuk keluarga dan komunitas Muslim menempuh jalur hukum atas nama orang-orang yang terkena dampak. Mereka juga menuntut para legislator mengambil tindakan untuk mengakhiri larangan Muslim.

Yang paling penting, ia melanjutkan, Musim Amerika terus mengatur, memobilisasi, dan membela komunitas Muslim dari kebijakan-kebijakan fanatik, terlepas apakah mereka didukung oleh Mahkamah Agung atau tidak.

Ia meminta orang-orang Amerika yang “berpikiran sehat” dari semua agama untuk bergabung dalam perjuangan itu demi nilai-nilai bersama. Menurut dia, orang-orang Amerika bisa menyuarakan bagaimana selama ini bertetangga dengan Muslim Amerika. n Umi Nur Fadhilah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement