REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Musa Alaihissalam (AS) adalah salah seorang Rasul Allah SWT yang memiliki sejumlah keistimewaan (mukjizat). Nabi Musa diberikan mukjizat berupa kitab Taurat, tongkatnya yang bisa berubah menjadi ular, tangannya yang bercahaya, dan bisa berbicara langsung dengan Allah.
Karena itulah, Nabi Musa mendapat gelar sebagai Kalimullah. Selain itu, Nabi Musa juga merupakan satu di antara lima nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi (Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad SAW).
Menurut sejumlah riwayat, Nabi Musa hidup sekitar tahun 1527-1407 Sebelum Masehi (SM). Lihat keterangan lengkapnya dalam buku Athlas Tarikh al-Anbiya wa ar-Rusul (Atlas Sejarah Nabi dan Rasul) karya Sami bin Abdullah Al-Maghluts. Penjelasan serupa juga dikemukakan Harun Yahya dalam bukunya Jejak Bangsa-bangsa Terdahulu.
Lalu, kapankah Nabi Musa diutus oleh Allah menjadi Nabi dan Rasul? Menurut keterangan Sami al-Maghluts, Nabi Musa diutus oleh Allah SWT menjadi Nabi dan Rasul sekitar tahun diutus 1450 SM. Adapun pengukuhan kenabian dan kerasulannya saat Musa berangkat dari Madyan menuju Mesir. Sedangkan lokasinya, dalam Alquran disebutkan berada di suatu tempat yang diberkahi, yakni Thuwa (Muqaddasi Thuwa).
Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: ‘Hai Musa, Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. Dan, Aku telah memilih kamu maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku’. (QS Thaha [20]: 11-14).
Keterangan serupa juga terdapat dalam surah An-Nazi`at [79]: 16. Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci, yaitu Lembah Thuwa.
Tujuan pengukuhan kenabian dan kerasulan ini agar Nabi Musa AS segera menyeru Firaun untuk menyembah dan beriman kepada Allah, serta memohon ampun atas sikapnya yang sombong dan angkuh, karena mengaku dirinya sebagai tuhan.
Awalnya, setelah melaksanakan kewajibannya selama lebih kurang 10 tahun, sebagai seorang menantu kepada mertuanya (Nabi Syuaib AS) untuk membayar mahar atas pernikahannya dengan salah seorang putri Nabi Syuaib, Musa berniat membawa keluarganya ke Mesir. (QS Al-Qashash [28]: 23-28). Daerah Madyan berada di sebelah barat teluk Aqabah di daerah Yordania.
Namun, pada suatu malam, di tengah perjalanan dengan cuaca yang sangat dingin, Musa tersesat. Sedangkan dirinya tidak memiliki secercah cahaya atau lampu sebagai penerang. Tiba-tiba, ia melihat suatu cahaya di balik sebuah bukit. Maka itu, ia memerintahkan istrinya untuk menunggu sementara di tempat mereka berteduh. Musa pun segera mencari tahu asal atau sumber cahaya itu. Musa mengira, cahaya itu adalah api.
Ia berkata kepada keluarganya: ‘Tunggulah (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) sesuluh api, agar kamu dapat menghangatkan badan’. (QS Al-Qashash [28]: 29).
Dan, ketika sampai di tempat yang disangkanya api tersebut, Musa melihat sinar yang menyala-nyala dari sebuah pohon hijau dan berduri. Menurut Ahzami Samiun Jazuli dalam bukunya Hijrah Menurut Pandangan Al-Qur’an, pohon itu muncul dari dasar bukit sebelah barat, di sebelah kanan tempatnya berdiri. Di tempat ini pula, Rasul SAW berdiri, sebagaimana disebutkan dalam Alquran surah Al-Qashash [28]: 44.
Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tiada pula kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan.
Cahaya itu berasal dari Zat Allah SWT. Dan, Allah menamakan tempat itu dengan nama Thuwa, yaitu suatu tempat yang diberkahi. Allah berfirman, Sesungguhnya, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (QS Thaha [20]: 14). Lihat pula dalam surah Al-Qashash [28]: 30.
Karena itulah, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk membuka sandalnya sebagai bentuk penghormatan, pengagungan, dan kesopanan terhadap tempat yang dimuliakan dan diberkahi. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. (QS Thaha [20]: 12).
Perbedaan pendapat
Di manakah Thuwa atau tempat lokasi yang diberkahi tersebut? Apakah tempat itu yang disebut dengan bukit Thursina? Ataukah Gurun Sinai Mesir?
Banyak perdebatan di kalangan ulama mengenai lokasi lembah Thuwa ini. Benarkah tempat Musa bercakap-cakap dengan tuhan-Nya itu di Gunung Musa, yaitu daerah Sinai (Mesir)? Apakah ia ada di Palestina, atau mungkin di tempat lainnya? Apakah tempat itu yang disebut dengan Thursina?
Mengenai bukit Thursina sebagaimana terdapat surah At-Tin [95]:2, sudah pernah kami bahas di rubrik Situs ini pada edisi 3 Mei 2009. Dalam pembahasan tersebut, ada tiga versi yang dikemukakan ulama mengenai keberadaan bukit Thursina, yakni wilayah Mesir, tepatnya di Gunung Musa, atau disebut juga dengan Sinai.
Versi kedua, Thursina terletak di barat daya Syam, yakni di gunung Az-Zaitun, sekitar bukit Baitul Maqdis, Palestina. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad bin Abdul Mun’im al-Himyari dalam Al-Raudh al-Mi’thar fi Khabari al-Aqthar, Syauqi Abu Khalil dalam Athlas Hadits, dan Sami bin Abdullah Al-Maghluts dalam Athlas Tarikh Al-Anbiya wa ar-Rusul, serta Ar-Razi dalam tafsirnya. Pendapat ini lebih banyak disepakati ulama.
Sedangkan versi ketiga terletak di sebelah selatan Nablus (Thur), Palestina. Versi ketiga ini merupakan versi Yahudi yang mengaitkannya dengan penyebaran Yahudi dari sekte Samiri.
Samakah tempat Musa bertemu dan bercakap-cakap dengan Tuhan-nya itu jika dibandingkan saat menerima 10 perintah Allah? Ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Di antaranya, ada yang menyebutkan keduanya sama, dan ada pula yang menyatakan berbeda.
Berdasarkan keterangan berbagai riwayat dan pendapat sejumlah ahli tafsir, kedua tempat itu, yakni antara Thuwa (tempat pengukuhan kerasulan Musa) dan saat Musa menerima 10 perintah Allah (10 Commandments of Moses) untuk kaumnya Bani Israil, adalah tempat yang sama.
Pendapat ini diungkapkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, Sayyid Quthub (Fi Zhilal al-Qur’an), Sayyid Abu Bakar Jabir al-Jazairi (Tafsir al-Aisir), serta Syauqi Abu Khalil (Athlas Al-Qur’an), dalam menafsirkan surah Al-Qashash [28] ayat 29 dan Thaha [20]: 12.
Lembah Thuwa itu adalah tempat Musa mencari sumber cahaya dan Allah bercakap-cakap dengannya, setelah menyelesaikan tugasnya sewaktu di Madyan (Yordania) dan kembali ke Mesir.
Tentu saja, hal ini akan menjadi pertentangan dengan pendapat lain yang menyatakan lokasi lembah Thuwa saat Musa dikukuhkan sebagai Rasul Allah, dan bukit Thursina, saat Musa menerima 10 perintah Allah.
Apakah makna ‘Thur’ (bukit) yang dimaksud dalam ayat 46 surah Al-Qashash [28], Al-A’raf [7]: 148, Maryam [19]: 52? Apakah ia hanya bermakna sebagai bukit? Lalu, bagaimana dengan surah at-Tin [95]: 2 tentang sumpah Allah SWT atas bukit Thursina? Lalu, apakah makna lembah atau tempat yang suci dalam surah Al-Qashash [28] ayat 29 dan Thaha [20]: 12?
Menurut Sami Al-Maghluts, lembah suci Thuwa itu adalah bukit Az-Zaitun di Baitul Maqdis. Sebab, di sinilah salah satu tempat yang diberkahi dan disucikan oleh Allah. Ia menegaskan, lembah suci bukan di Sinai, Mesir. Mengapa? Sami al-Maghluts menjawabnya dengan penafsiran atas makna surah At-Tin [92] ayat 1-3, Wattiini waz zaituun, wa thuuri siniin, wa haadzal baladil amin (Demi buah tin dan buah zaitun, dan demi lembah yang suci, dan demi negeri yang diberkahi). Berdasarkan ayat ini, kata Al-Maghluts, sesungguhnya tempat itu adalah Baitul Maqdis, Palestina.
Sebab, hanya di Palestina terdapat buah tin dan zaitun, sedangkan di Sinai, Mesir, tidak ada. Dan, lembah yang suci juga terdapat di Palestina, bukan bukit Sinai. Kalau bukit Sinai, pasti banyak orang yang akan tinggal di tempat tersebut dan tidak akan mau pindah, karena berkah.
Namun, faktanya, malah di Sinai, khususnya yang disebut dengan gunung Musa (tempat ia menerima 10 perintah Allah), sekarang ini terdapat patung anak lembu yang dipahat di gunung tersebut? kata Al-Maghluts.
Selanjutnya, negeri yang aman adalah Makkah dan Palestina. Namun, lanjutnya, merujuk pada surah at-Tin, penjelasan itu hanya dikhususkan untuk Palestina.
Selain penjelasan di atas, ada pula penafsiran lainnya tentang maksud surah at-Tin ayat 1-3 itu. Pendapat ini menjelaskan bahwa makna ayat itu sebagai sumpah Allah atas tiga agama samawi yang dibawa oleh para nabi-Nya, yakni Nasrani (Isa), Yahudi (Musa), dan Islam (Muhammad). Wallahu A’lam.