REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Anwar Abbas menilai sebaiknya pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuat standar kode etik dakwah untuk bertabligh bagi dai, ulama, dan mubaligh. Ia beranggapan hal itu lebih baik daripada mendata atau merilis rekomendasi nama mubaligh. "Menurut saya, bukan mendata dai dan mubaligh, baiknya membuat kode etik mubaligh, ulama, dai," kata Anwar kepada Republika.co.id, Jumat (25/5).
Ia mengatakan, selama ini belum ada definisi jelas terhadap seseorang yang menyampaikan ilmu agama pada masyarakat. Ia menjelaskan, ulama adalah orang yang sudah memahami dan mengerti ilmu-ilmu agama. Sementara mubaligh, menurut dia, adalah sosok yang menyampaikan atau meneruskan apa yang pernah diucapkan seorang ulama.
Anwar mengatakan, seorang mubaligh bisa berasal dari disiplin ilmu apa pun. Ia menyontohkan, sorang dokter yang mengerti agama, bisa memberi ceramah agama. Namun, koor keilmuan dokter tersebut bukan ilmu agama, tetapi medis.
Namanya ulama, orang yang alim, mengerti Alquran dan hadist. "Dia mengerti ilmu agama lain. Kalau mubaligh, orang yang menyampaikan apa yang sudah disampaikan alim ulama," tutur dia.
Baca: Kemenag Diminta Setop Keluarkan Rilis Nama-Nama Mubaligh
Dosen Ekonomi Islam di Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu menegaskan harus ada kejelasan kriteria apa saja yang bisa membuat seseorang disebut ulama, dai, mugaligh dan lainnya. Kode etik bisa dijabarkan seperti, bagaimana perspektif keilmuannya, komitmen kebangsaannya dan kemanusiaannya.
Selain itu, saat berdakwah dan bertabligh tidak boleh mencela, menghina, merendahkan derajad orang lain di depan publik. Mereka juga tidak boleh mengembangkan buruk sangka saat membahas isu-isu terkini.
Sehingga, ia mengatakan, saat sosok penceramah tersebut menyampaikan ceramah yang menjurus pada kebencian, maka bisa tegas menyebutnya melanggar kode etik. Selain itu, Anwar beranggapan, sebaiknya daftar rekomendasi tidak hanya kategori mubaligh, tetapi juga ulama dan dai.
"Kesimpulannya, kalau mau lakukan pendataan, boleh-boleh saja. Ketika buat rekomendasi, mereka (MUI dan ormas Islam) menyeleksi. (Nanti akhirnya) yang menyeleksi masyarakat juga," tutur dia.