Rabu 23 May 2018 08:41 WIB

Dradjad: Mengapa Penceramah Non-Islam tidak Diatur Kemenag?

Kebijakan Kemenag yang mengeluarkan rilis ustaz punya kelemahan yang serius.

Ustaz Abdul Somad yang tidak masuk daftar ustaz yang direkomendasikan Kemenag.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ustaz Abdul Somad yang tidak masuk daftar ustaz yang direkomendasikan Kemenag.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rilis daftar nama mubaligh dari Kementerian Agama (Kemenag) dinilai lebih banyak membawa mudharat-nya. Kalau Kemenag membuat pengaturan serupa untuk penceramah agama non Islam.

Ke-khusyuan umat dalam beribadah Ramadhan jadi terganggu oleh kontroversi ini. "Makin mudharat lagi karena keluar pada bulan Ramadhan. Kontroversinya mengganggu ke-khusyuan beribadah,” kata anggota Dewan Kehormatan PAN, Dradjad, Rabu (23/5).

Dradjad menilai kebijakan Kemenag ini mempunyai beberapa kelemahan yang serius.  Pertama, negara belum memiliki sistem sertifikasi ulama.

"Belum ada kriteria, indikator, pemverifikasi dan prosedur untuk menyeleksi mubaligh. Bahkan, UU yang melandasinya pun belum ada,” ungkap politikus senior ini.

Ini berbeda dengan Singapura yang memiliki the Administration of Muslim Law Act (AMLA) sejak tahun 1966. AMLA  memberi MUI-nya Singapura wewenang untuk mengatur mubaligh.

Kedua, lanjut Dradjad, sebagian besar pembangunan masjid dan kegiatan dakwah di Indonesia dibiayai secara swadaya oleh ummat. Negara kecil sekali peranannya.

"Lagi-lagi kita berbeda dengan Singapura. Singapura memiliki Mosque Building Fund (MBF) sejak tahun 1975 yang dipungut dari orang Islam yang bekerja. Sekarang ditambah beasiswa, berubah menjadi Mosque Building and Mendaki Fund (MBBF),” papar Dradjad.

Di Arab Saudi, negara bukan hanya membangun dan merawat masjid, para imam dan pengurus masjid diberi gaji yang sangat layak. Jadi pemerintah Arab Saudi berhak memecat ulama yang tidak sesuai dengan kebijakan negara. Pemerintah Singapura juga berhak mengatur ulama. "Indonesia kan jauh bedanya."

Alasan ketiga, menurut Dradja, mengapa Kemenag tidak mengeluarkan  pengaturan dan daftar serupa bagi penceramah agama lain seperti romo, pendeta, pedanda, biksu, dan jiao sheng?. "Apakah ini bukan perlakuan diskriminatif oleh negara terhadap ulama?” tanya Dradjad.

Karena itu, Dradjad meminta Menteri Agama membatalkan eksperimen yang kontra-produktif ini. Biarlah takmir masjid yang menyeleksi sendiri khatib. Mereka sudah punya filternya.

“Toh takmir dan jamaah juga yang jatuh bangun mendirikan dan memakmurkan masjid,” paparnya.

Sekjen Kemenag Nur Syam menegaskan bahwa pihaknya tidak akan mencabut daftar 200 mubaligh tersebut. Justru, menurut dia, pihaknya akan merilis lagi daftar mubaligh lanjutan pada pekan ini.

"Ya, nanti kita akan teruskan ini, akan kita teruskan untuk rilis berikutnya. Kalau rilis awal 200, itu kita berharap minggu ini ada rilis yang kedua, dan berikutnya rilis ketiga dan keempat," ujar Nur Syam saat dihubungi Republika.co.id, Senin (21/5).

Menurut dia, rilis daftar mubaligh yang kedua juga akan didasarkan atas saran tokoh agama, ormas Islam, dan masyarakat. Menurut dia, Kemenag akan tetap menerima masukan dari masyarakat baik yang kontra ataupun yang pro terhadap pembuatan daftar mubaligh tersebut. "Tentu kita akan dengarkan saran-saran yang disamapaikan masyarakat, tokoh masyarakat dan tokoh agama," ucapnya.

Dia menambahkan, pemerintah sebenarnya bertujuan baik dalam pembuatan daftar mubaligh itu. Salah satunya yaitu untuk memberikan informasi kepada masyarakat terkait dai-dai yang memenuhi tiga kreteria yang ditetapkan Kemenag. Yaitu mereka yang mempunyai kompetensi keilmuan agama yang mumpuni, memiliki reputasi dan pengalaman yang baik, dan berkomitmen kebangsaan yang tinggi.

"Sebenarnya tergetnya itu saja. Jadi kita tidak berupaya berlebih-lebihan kecuali hanya itu (memberikan informasi). Perkara kemudian ada kontroversi ada yang masuk dan ada yang belum, tadi kan saya sampaiakan ini kan masih rilis awal," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement