Jumat 11 May 2018 14:46 WIB

Sejarah Palestina di Kekuasaan Islam

Saat itu Palestina berkembang menjadi sebuah wilayah multikultur.

Rep: Syahruddin el-Fikri/ Red: Agung Sasongko
Yerusalem
Yerusalem

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penguasaan Khilafah Islamiah atas tanah Palestina dimulai pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Wilayah Palestina yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Byzantium (Romawi Timur), berhasil dikuasai oleh tentara Islam pada tahun 638 Masehi atau bertepatan dengan tahun 16 Hijriah. Pada saat itu, Palestina memang merupakan wilayah yang tersisa di kawasan Timur Tengah, yang belum dikuasai oleh Kekhalifahan Islam.

Yerusalem sebagai ibu kota Palestina dijaga dengan ketat oleh sejumlah besar tentara. Selain itu, keberadaan sebuah benteng kokoh menyebabkan pasukan Islam tidak dapat menembus pertahanan Yerusalem dengan segera. Karena itu, untuk merebut kota ini, pasukan Islam menerapkan strategi dengan cara mengepung dan memblokade Yerusalem dari hubungan dengan luar. Dengan demikian, Jerusalem terisolasi dari daerah-daerah lain dan bantuan menjadi terputus.

Pengepungan terhadap Yerusalem berjalan dalam waktu yang cukup lama. Hal ini disebabkan adanya persediaan logistik yang memadai bagi penduduknya untuk waktu yang lama. Namun, akhirnya Uskup Agung kota ini, yaitu Patriach Sophorius, memutuskan untuk menyerah dengan jalan damai. Kebijakan ini diambil untuk menghindari pertumpahan darah.

(Baca: Israel Semena-Mena Jadikan Yerusalem Ibu Kota)

 

Menjelang musim semi 638 M, sebuah delegasi keluar dari kota dengan misi damai. Dalam perundingan antara kedua pihak, disepakati penyerahan Jerusalem dengan tiga syarat. Pertama, disepakati adanya gencatan senjata di antara kedua belah pihak. Kedua, Jerusalem hanya akan diserahkan kepada penguasa tertinggi dari pihak Islam. Ketiga, sisa pasukan Romawi yang ada diizinkan pergi menuju Mesir tanpa hambatan dari pihak Islam.

Persetujuan ini disampaikan kepada khalifah di Madinah, yang disertai permohonan agar Umar bersedia datang untuk menerima penyerahan Yerusalem. Khalifah Umar menyetujui perjanjian itu dan segera berangkat ke Palestina. Pada tahun 638 M, penyerahan kota suci itu dilakukan dari Patriach Sophorius kepada Khalifah Umar bin Khattab.

photo
Infografis, Klaim Trump Yerusalem Ibu Kota Israel

Dikisahkan, ketika tiba di Yerusalem, Khalifah Umar mengunjungi tempat-tempat suci umat Nasrani, salah satunya adalah Gereja Holy Sepulchre. Saat sedang berada di gereja ini, waktu shalat umat Islam pun tiba. Uskup Sophorius pun mempersilakan Umar untuk shalat di tempat ia berada, tapi Umar menolaknya.

Umar mencontohkan perilaku Rasulullah SAW dan keterangan Alquran, yang menjelaskan, ''Bagi kamu agamamu dan bagi kami agama kami.'' (QS Al-Kafirun [108]: 6).

''Andai saya shalat dalam gereja, umat Islam akan mengenang kejadian ini dengan mendirikan sebuah masjid di sana, dan ini berarti mereka akan memusnahkan Holy Sepulchre,'' jelas Umar.

Ia pun pergi dan mendirikan shalat di tempat yang agak jauh dari gereja, namun lokasinya berhadapan langsung dengan Holy Sepulchre.

(Baca Lagi: Catat, Ini Rekayasa Lalu Lintas Saat Aksi Bela Alquds)

Di lokasi tempat Umar mendirikan shalat ini, kemudian dibangun sebuah masjid kecil yang memang dipersembahkan untuk sang khalifah. Bangunan masjid tersebut menjadi cikal bakal Masjid Kubah Batu (Qubbatus Sakhrah, Dome of the Rock).

Selanjutnya, ekspedisi Islam dilanjutkan ke wilayah sekitar Yerusalem. Panglima Yazid bin Abu Sufyan dengan mudah menaklukkan Gaza, Askalon, dan Caesarea (daerah-daerah yang berada di wilayah Palestina).

Palestina di bawah kekuasaan Islam saat itu, berkembang menjadi sebuah wilayah yang multikultur. Umat Islam, Nasrani, dan Yahudi yang berdiam di wilayah Palestina pada masa itu hidup berdampingan secara damai dan tertib. Sejak awal menaklukkan wilayah Palestina, penguasa Islam tidak pernah memaksakan agamanya kepada penduduk setempat. Mereka tetap diperbolehkan menganut keyakinan lama mereka dan diberi kebebasan beribadah.

Sejalan dengan pergantian dinasti yang memerintah, Palestina berturut-turut berada di bawah berbagai kekuasaan mulai dari Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Seljuk, Dinasti Fathimiyah, kaum Salib Eropa, Dinasti Mamluk, dan Turki Usmani. Yang terakhir ini menguasai Palestina selama dua abad (1516-1917).

Ketika Kekhalifahan Islam dipegang oleh Dinasti Umayyah, Palestina menjadi salah satu wilayah yang diperebutkan di antara para keturunan keluarga Harb bin Umayyah dengan keluarga Abi al-As bin Umayyah. Saat Marwan bin Hakam (Marwan I) diangkat menjadi khalifah untuk menggantikan Khalifah Muawiyah II, Palestina berhasil ditaklukkan dan dikuasai oleh keturunan keluarga Abi Al-As. Khalifah Marwan I sendiri merupakan keturunan Umayyah dari garis Abi al-As.

Pada saat Abdul Malik bin Marwan menjadi khalifah menggantikan ayahnya Khalifah Marwan I, ia mempersiapkan pembangunan Masjid Kubah Batu. Masjid ini mulai dibangun pada akhir abad ke-7 M. Sementara pada masa Khalifah Walid bin Abdul Malik (al-Walid I), ia memerintahkan pembangunan kembali Masjid Al-Aqsha. Dinasti Umayyah menguasai Palestina dari kurun waktu 661-750 M.

Setelah jatuhnya Dinasti Umayyah, penguasaan wilayah Palestina beralih ke tangan Dinasti Abbasiyah yang mulai berkuasa tahun 750 M. Ini merupakan awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah dari Baghdad di Palestina. Pada saat Khalifah al-Mutawakkil (khalifah ke-11 dari Dinasti Abbasiyah) memerintah, ia menunjuk putranya al-Muayyad menjadi gubernur di Palestina dan Suriah.

Pada tahun 969 M, Dinasti Fathimiyah yang berkuasa di Afrika Utara, Mesir, dan Suriah, berhasil menguasai wilayah Palestina. Dinasti Fathimiyah secara resmi mengumumkan bahwa mereka adalah khalifah tandingan Dinasti Abbasiyah.

Kemudian di tahun 1071 M, penguasaan atas Yerusalem dan beberapa daerah Palestina, kecuali Askalon, beralih ke Dinasti Seljuk. Dengan dikuasainya wilayah Palestina oleh Dinasti Seljuk, secara resmi Yerusalem kembali lagi ke dalam pelukan pemerintahan Dinasti Abbasiyah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement