REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Intelijen Negara (BIN) mengimbau masyarakat mewaspadai pemanfaatan masjid untuk penyebaran radikalisme dan ujaran kebencian di masjid. Dua hal itu merupakan ancaman yang merusak sendi-sendiri beragama dan berbangsa.
Hal itu disampaikan Kepala BIN Budi Gunawan dalam silaturahim dengan pengurus takmir masjid di Semarang, Sabtu (28/4). Dia mengatakan, tempat sujud harus dikelola sebagai tempat ibadah, pendidikan-pengajaran, dan pembangunan akhlak mulia.
Sumber ajarannya adalah Islam yang toleran, bersumber dari Alquran, hadis, dan tradisi keilmuan ulama yang arif. Semua itu merupakan dasar yang membentengi masyarakat dari radikalisme dan ideologi global pengancam persatuan dan kedaulatan negeri. “Masjid merupakan pusat kearifan yang meredam radikalisme,” kata Budi dalam sambutannya.
Kepala BIN berharap masjid menjadi pilar ketahanan umat dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. “Saya mengapresiasi dan menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya terkait peran positif yang telah-sedang-akan diberikan oleh para ulama/kiai dan para takmir masjid dalam merawat prinsip-prinsip kebersamaan dan kerukunan kebangsaan di indonesia,” kata Budi.
Pengurus takmir masjid dapat menggali dan menginventarisasi berbagai potensi yang ada untuk kepentingan umat, baik dari sisi advokasi maupun pemberdayaan sosial, sehingga kerahmatan masjid dirasakan masyarakat. Dia menyarankan, pengurus takmir masjid perlu mengadakan pelatihan peningkatan kapasitas untuk mendorong dan meningkatkan kemampuan takmir dalam mewujudkan masjid sebagai media penyebaran Islam dan pemersatu bangsa.
Ideologi asing
Budi juga berkesempatan memberikan kuliah umum dalam Musyawarah Nasional Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (PTNU) di kampus III Universitas Wahid Hasyim. Acara itu dihadiri seluruh pengurus BEM PTNU sejumlah 272 kampus.
Kepala BIN menjelaskan, Bangsa Indonesia berada di tengah pertarungan ideologi, di antaranya radikalisme yang merusak umat Islam, komunisme yang berupaya mempengaruhi kebijakan negara terhadap kelompok proletar; serta kebijakan ultranasionalisme untuk mendorong imperialisme dan dominasi Amerika Serikat di dunia.
Bagi bangsa indonesia yang majemuk dengan lebih dari 663 kelompok suku besar dan 652 bahasa, situasi ini mengancam kebinekaan yang menjadi ruh bangsa. Pancasila sebagai ideologi perekat bangsa mendapatkan ujian berat berupa gempuran ideologiasing.
Apabila hal ini dibiarkan maka rakyat Indonesia tidak lagi dapat mengasosiasikan dirinya sebagai bangsa besar dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia. Ancaman masuknya ideologi asing dapat menggoyahkan ketahanan ideologi nasional, dan berdampak pada kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Budi mengimbau mahasiswa dan para akademisi mewaspadai semua itu. Mereka harus menjadi penerang sehingga masyarakat tak terpapar ideologi asing dan tetap berpedoman pada ideologi bangsa-agama yang menyejukkan.