REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peradaban Barat modern justru sepantasnya berterima kasih terhadap upaya- upaya umat Islam yang menyinari Eropa dengan kecintaan terhadap buku. Definisi buku itu sendiri menjadi terfiksasi sejak orang-orang Arab berhasil mengembangkan penemuan penting dari bangsa Cina:teknik membuat kertas.
Pabrik kertas pertama di negeri Muslim ada di Baghdad pada 800. Sejak saat itu, wujud naskah tidak lagi berupa lembaran-lembaran daun, tulang, atau benda apa pun yang diragukan keawe tannya bila disimpan lama di rak-rak. Efeknya, jumlah perpustakaan tumbuh subur di seantero kerajaan-kerajaan Islam.
Sebagai contoh, koleksi Baytul Hikmah di Baghdad saja membeludak menjadi satu juta buku pada 815. Berpuluh tahun kemudian, pada 891 seorang sejarawan mencatat ada lebih dari 100 perpustakaan umum hanya di Baghdad.Kota kecil semacam Najaf punya rumah baca dengan koleksi 40 ribu buku.
Pada abad ke-10, Sultan al-Hakim dari Kordoba, Andalusia, punya koleksi pribadi sebanyak 400 ribu buku. Astronom Muslim asal Persia, Nashruddin al- Tusi (lahir 1201) punya 400 ribu buku.Sultan al-Aziz dari Dinasti Fatimiyyah punya 1,6 juta buku, yang sebanyak 16 ribu dan 18 ribu di antaranya membahas tentang matematika dan filsafat.
Bandingkanlah angka-angka itu dengan kepemilikan buku Charlemagne alias Karel yang Agung, sosok yang dinobatkan sebagai penguasa oleh Paus pada 800.Menurut Garaudy, dia hanya memi liki 900 buku. Kendati begitu, seluruh Eropa menggelarinya sebagai Penguasa yang Pandai.