REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Oleh: Imam Nawawi
Suatu waktu orang-orang badui Bani Asad menemui Nabi SAW kemudian menyatakan diri bahwa mereka telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika itu pula turunlah wahyu, "Orang-orang badui itu berkata, 'Kami telah beriman.' Katakanlah, 'Kamu belum beriman, tapi katakanlah, 'Kami telah ber-Islam,' karena iman belum masuk ke dalam hatimu." (QS al-Hujurat [49]: 14).
Ibn Katsir menjelaskan, berdasarkan ayat tersebut, iman itu lebih khusus daripada Islam. Dengan demikian, patut setiap jiwa memeriksa ke dalam, apakah dirinya telah benar-benar beriman atau masih sebatas ber- Islam?
Ibn Hajar berpendapat bahwa secara bahasa, iman berarti tashdiq. Sedangkan secara syar'i, iman adalah membenarkan semua yang dibawa oleh Rasul dari Rabbnya. Iman meliputi perkataan, perbuatan, bisa bertambah, dan bisa berkurang. Bertambah dengan ketaatan, berkurang dengan kemaksiatan.
Hal itu menunjukkan bahwa menanamkan keimanan dalam diri kemudian senantiasa meningkatkannya benar-benar perkara paling inti dari kehidupan seorang Muslim, sebab keimanan senantiasa menuntut pembuktian. Alquran pun menjelaskan bahwa orang yang benar-benar beriman adalah yang hatinya mencintai Allah, Rasul, dan jihad lebih utama dari apa pun yang ada di dunia ini.
"Katakanlah, 'Jika bapak-bapak, anak-anak, saudarasaudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (QS at-Taubah [9]: 24).
Artinya, iman adalah bukti cinta kepada Allah dan Rasul serta jihad di jalan-Nya. Barang siapa merasa dirinya telah beriman dengan hanya ibadah ritual tetapi tidak benar-benar peduli dengan keadaan tetangga, keadaan sesama Muslim, dan karena itu enggan untuk bersedekah apalagi berjihad di jalan-Nya, bahkan orientasi hidupnya sesungguhnya tidak mencari ridha- Nya, maka keimanan itu belum benar-benar tertanam dengan kokoh di dalam hatinya.
Rasulullah SAW bersabda, "Telah merasakan lezatnya iman seseorang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai dinnya, dan Muhammad sebagai rasulnya." (HR Muslim).
Hal itu menunjukkan bahwa seorang Muslim yang telah beriman benar-benar memiliki daya tahan tangguh dalam menghadapi rintangan dan tantangan menggapai ridha Allah dan Rasul-Nya sehingga pantang baginya su rut ke belakang dalam hal mempertahankan keimanan.
Hidupnya diorientasikan untuk mendapatkan ridha- Nya daripada kesenangan dunia dalam segala rupa dan bentuknya. Seperti yang diteladankan oleh Nabi Yusuf kala mesti memilih tetap menjaga iman atau lepas dari ke sengsaraan. Namun, dengan tegas putra Nabi Ya'kub Alaihissalam itu mengatakan, "Ya Rabb! Penjara lebih aku sukai daripada apa yang mereka serukan kepadaku." (QS Yusuf : 33).
Dengan demikian, mari terus berupaya mening kat kan iman, terlebih di dalam Alquran Allah sering me manggil orang-orang beriman. Tinggal kita tengok hati sendiri, adakah diri merasa terpanggil atau tidak sama sekali.