REPUBLIKA.CO.ID, RAKHINE -- Myanmar akan mulai memukimkan pengungsi Rohingya dari kamp-kamp di negara bagian Rakhine. Seorang pejabat negara mengatakan pengungsi Muslim yang telah hidup selama enam tahun terakhir di kamp-kamp sementara di tiga daerah di provinsi Rakhine, bagian barat Myanmar akan dipindahkan atau ditempatkan kembali ke rumah-rumah baru.
Pengungsi Muslim Rohingya dan Kaman telah tinggal di kamp-kamp di distrik Sittwe dan di kota-kota Kyauktaw dan Myebon sejak 2012. Mereka mulai mengungsi setelah munculnya gelombang kekerasan komunal dengan umat Buddha di negara yang secara etnik dan agama terbagi itu. Insiden tersebut menyebabkan lebih dari 200 orang tewas dan sekitar 140 ribu masyarakat Muslim terlantar.
Direktur Komite Implementasi Rekomendasi dari Komisi Penasihat Negara Rakhine Aung Thurein mengatakan rumah-rumah baru tengah dibangun di dekat pintu masuk desa dan lahan lainnya tengah dipersiapkan untuk pembangunan bagi lebih dari 80 keluarga yang tinggal di kamp Nidin di Kyauktaw. Ia mengatakan, tempat tinggal baru untuk pengungsi Muslim dari dua kamp lainnya juga akan dibangun di dekat kamp-kamp mereka yang tersedia.
Pada September 2017, komite pemerintah Myanmar dibentuk untuk mengimplementasikan rekomendasi dari Komisi Penasihat pada Negara Bagian Rakhine, sebuah kelompok yang dipimpin oleh mantan ketua PBB Kofi Annan yang mengusulkan cara-cara untuk menyelesaikan ketegangan sektarian antara Muslim dan etnis Rakhine Buddhis di negara bagian tersebut. Meskipun, hal itu tidak mengevaluasi kemungkinan adanya pelanggaran hak asasi manusia.
Laporan komisi menyerukan penutupan umat Muslim yang secara internal terlantar (IDP) dan melakukan peninjauan Hukum Kewarganegaraan Myanmar 1982, yang mencegah Rohingya menjadi warga negara Myanmar. Laporan itu juga menyerukan agar mengakhiri pembatasan terhadap Rohingya untuk mencegah kekerasan lebih lanjut di wilayah tersebut.
Selain itu, pejabat setempat juga tengah meyiapkan rencana untuk memukimkan pengungsi yang tinggal di kamp Kyauktalone di Kyaukpyu di rumah-rumah baru. Namun, Aung Thurein mengatakan itu berada pada tahap yang sangat awal karena pihak berwenang masih mencari lahan yang cocok untuk dibangun.
"Diskusi untuk kamp Thetkaepin di ittwe telah berakhir, tetapi belum ada pekerjaan yang dimulai di sana," kata Aung Thurein, dilansir di Radio Free Asia, Selasa (17/4).
Di kamp Taungbaw di Myebon, para pejabat telah memulai pembangunan rumah baru dan telah memberi kompensasi kepada penduduk sebelumnya atas lahan tersebut, karena menggunakan properti mereka untuk proyek tersebut. Aung Thurein mengatakan, pihak berwenang tengah mengadakan diskusi tentang perumahan baru dengan para pengawas dan penghuni kamp Kaung Doke Khar No. 1 dan No. 2 di distrik Sittwe.
"Sulit untuk memberikan tenggat waktu ketika pekerjaan akan selesai, tetapi itu sudah berjalan dan kami akan mencoba untuk menyelesaikannya sesegera mungkin," ujar Aung Thurein.
Menurut Laporan Pencatatan Kamp Sittwe yang diterbitkan pada 2017 oleh Dewan Pengungsi Denmark dan badan pengungsi PBB (UNHCR), pada awal 2017 diperkirakan sebanyak 121 ribu orang terlantar akibat krisis 2012. Para pengungsi itu tetap berada di 36 kamp atau pengaturan seperti kamp dengan mayoritas ditempatkan di kota-kota kecil Sittwe (16 kamp), Pauktaw (empat kamp), Rathedaung (tiga kamp) dan Myebon (dua kamp).
Setahun yang lalu, pemerintah negara bagian Rakhine mengatakan menutup tiga kamp pengungsi yang menampung Muslim Kaman, etnis Rakhine, dan Muslim Rohingya, sebagaimana direkomendasikan oleh komisi penasehat Annan.
Pemerintah Myanmar sebelumnya menyatakan bermaksud untuk memulangkan pengungsi Rohingya pada akhir Januari lalu. Namun, program itu mengalami penundaan. Pejabat Myanmar mengatakan, banyak pengungsi telah gagal melengkapi formulir aplikasi dengan benar.
Sejumlah pengungsi dan kelompok-kelompok hak asasi manusia telah menyampaikan kesaksian meyakinkan dan bukti kekejaman, termasuk pembunuhan, perkosaan, dan pembakaran, yang dilakukan oleh pasukan tentara Myanmar terhadap Rohingya di tiga kota kecil di negara bagian Rakhine utara. Kekerasan itu terjadi menyusul serangan terhadap pos-pos polisi oleh sekelompok militan Muslim pada 25 Agustus.
Pemerintah dan tentara Myanmar telah banyak membantah tuduhan tersebut dan membela tindakan mereka di wilayah itu sebagai operasi kontra pemberontakan. Sementara itu, PBB dan Amerika Serikat mengatakan kekerasan tersebut sama dengan pembersihan etnis. Sedangkan Yanghee Lee, pelapor hak asasi manusia PBB untuk Myanmar mengatakan tindakan tersebut mengandung tanda-tanda genosida.