REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harta menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Karena harta adalah amunisi terpenting bagi terciptanya sebuah transaksi. Akan tetapi, tidak selamanya seseorang akan menikmatinya.
Kepemilikan harta akan berakhir bersamaan dengan datangnya ajal yang bersangkutan. Lantas sepeninggal almarhum, warisan yang ditinggalkan hendak diapakan? Siapa yang paling berhak mengelola dan mewarisi harta tersebut?
Kaedah yang berlaku di sistem peradaban manapun mengungkapkan, keluarga terdekatlah yang mendapatkan hak kepemilikan. Meskipun dalam beragam sistem pengaturan warisan tadi ketentuannya berbeda satu sama lain.
Islam menjamin hak individu keluarga almarhum dengan memberikan bagiannya masing-masing sesuai dengan status dan hubungan kekerabatan. Sistem yang mengatur pembagian warisan dalam Islam itulah yang sering dikenal dengan ilmu mawaris atau faraidl.
Ilmu ini nyaris punah. Keberadannya semakin asing, seiring dengan perkembangan zaman. Sedikit sekali kalangan yang intens mempelajari dan mempopulerkan ilmu ini.
Di saat yang sama, aplikasi ilmu mawaris di tengah-tengah masyarkat muslim berangsur berkurang. Beragam kecerendungan pemecahan masalah hak waris dijadikan solusi akhir. Mulai dari gugatan perdata hingga konflik berdarah antar saudara. Kondisi seperti ini sebenarnya sudah pernah diperingatkan oleh Rasulullah.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah menegaskan bahwasanya perlahan-lahan ilmu waris ini akan terpinggirkan. Lihatlah, betapa banyak orang Islam yang enggan melakukan pembagian hak waris berdasarkan syariat Allah. Mereka, memilih membaginya dengan cara-cara konvensional, bagi rata, atau diserahkan ke pengadilan bila ada gugatan.
Urgensi inilah yang menjadi faktor kenapa ilmu mawaris penting untuk dipelajari. Bahkan dalam riwayat lain Rasulullah menegaskan ilmu faraidl dianggap sebagai separuh dari inti agama. Maksud setengah agama menurut Ibn Uyainah, karena pembagian warisan merupakan keniscayaan yang bakal dihadapi oleh tiap individu.
Sekalipun mempelajari ilmu waris (faraidl) hukumnya fardhu kifayah (gugur kewajibannya bila yang lain sudah ada yang melakukan atau mempelajarinya), namun banyak dari kalangan sahabat yang menekuni ilmu mawaris.
Diantara sahabat yang terkenal piawai di bidang mawaris adalah Ali bin Abi Thalib, Ibn Abbas, dan Abdullah bin Masud. Zaid bin Tsabit disebut-sebut sebagai sosok yang paling mahir menguasai ilmu waris. Keahliannya dalam disiplin ilmu mawaris diakui oleh para sahabat. Umar bin Khattab pernah menyerukan kepada siapapun yang bermasalah dengan urusan pembagian warisan hendaknya bertanya kepada Zaid bin Tsabit.