REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Nama lengkapnya adalah Abu Amir Muhammad bin Abdullah bin Abi Amir. Julukannya al- Hajib (konselor/kanselir) atau al-Manshur (pemenang). Dia hidup pada 938-1002 M di Andalusia dan menjadi petinggi Daulah Umayyah di sana.
Kondisi kepemimpinan khalifah ketika itu semakin lemah. Ancaman perpecahan semakin nyata. Ancaman dari luar berupa serangan militer dari Arab, Saljuk, dan lainnya juga begitu menakutkan. Khalifah Hisyam al-Muayyad yang memerintah mulai usia 10 tahun tak bisa berbuat apa-apa.
Dia memang didaulat sebagai pemimpin menggantikan pendahulunya al- Hakam al-Mustanshir, tapi hanya sebatas simbol, bahkan dijadikan boneka kekuasaan. Hisyam dikenal tidak cerdas, kurang cekatan, dan lemah pendirian.
Sehari-hari, ia lebih banyak menghabiskan waktu di istana Madinah az- Zahra. Kini, bangunan itu hanya berupa puing-puing di sebelah barat Andalusia.Pada masa Abdurrahman III (912-961) istana tersebut menjadi pusat pemerintahan, penuh dengan kesibukan.
Yang banyak berperan adalah al- Manshur. Orang Barat menyebutnya Almanzoor. Lainnya adalah seorang menteri Ahmad bin Sa'id, ayah intelektual perbandingan agama Ibnu Hazm (994- 1064). Tapi, tulisan ini hanya membahas tentang al-Manshur.
Di tengah krisis kepemimpinan Hisyam dan ancaman dari berbagai arah, jenderal militer ini tampil memperbaiki keadaan. Permusuhan pemerintah dengan sejumlah kabilah dan kerajaan lain diselesaikan, diubahnya menjadi persahabatan. Dia juga banyak mengendalikan pemerintahan, sehingga stabilitas keamanan dan ketertiban terjaga.
Gejolak politik dan ketakutan akan serangan militer tidak terjadi. Dengan segala keterbatasannya, dia mampu menyebarkan perdamaian dan ketenangan.Masyarakat semakin mudah mengakses kebutuhan hidup, belajar, dan mengembangkan ilmu pengetahuan.