REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Orang yang berzakat akan senantiasa dipuji dan bagi yang tidak melaksanakan akan dicerca. Misalnya, dalam surah Arrum ayat 38, disebutkan, “Berilah para kerabat, fakir miskin, dan orang yang terlantar dalam perjalanan hak masing-masing, yang demikian itu lebih baik bagi mereka yang mencari wajah Allah.”
Dalam surah Al-An'am ayat 141, disebutkan, “Makanlah buahnya bila berbuah, keluarkanlah haknya pada hari memetik hasilnya, tetapi janganlah berlebih-lebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Dari keterangan tersebut, zakat masih hanya sebatas memberi fakir miskin tanpa ditentukan kadar (besaran)-nya. Masyarakat Makkah ketika itu hanya diwajibkan mengeluarkan sebagian dari kekayaan yang mereka miliki.
Zakat pada periode Makkah ini merupakan zakat yang tidak terikat. Mengapa demikian? Padahal, perintah zakat sudah ada dalam Alquran? Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, zakat yang termaktub dalam surat-surat Makiyah (turun di Makkah) tidaklah sama dengan zakat yang diwajibkan di Madinah. Sebab, nisab dan besarnya sudah ditentukan, orang yang mengumpulkan dan membagikannya sudah diatur, dan negara bertanggung jawab untuk mengelolanya.
“Zakat di masa itu tidak ditentukan batasnya, namun diserahkan pada rasa iman dan kemurahan hati serta perasaan tanggung jawab seseorang atas orang lain,” jelas Al-Qaradhawi dalam Fikih Zakat.