REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam adalah agama yang mengajarkan umatnya untuk gemar membaca. Wahyu pertama yang disampaikan Allah SWT melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW adalah membaca. ''Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.'' (QS: al-Alaq 1).
Peradaban Islam di era keemasan memiliki tradisi membaca buku yang sangat tinggi. Terlebih, sejak peradaban Islam menguasai teknologi pembuatan kertas, aktivitas penulisan buku di akhir abad ke-8 M kian menggeliat. Jumlah buku yang terbit di era kekuasaan Dinasti Abbasiyah itu sungguh melimpah.
Pada era itu minat baca begitu tinggi, sehingga setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi buku. Ziauddin Sardar dan MW Davies dalam bukunya berjudul Distorted Imagination menggambarkan penerbitan buku di dunia Islam 10 abad silam, hampir setara dengan pencapain peradaban Barat saat ini, baik secara kualitas dan kuantitas.
Hampir 1.000 tahun sebelum buku hadir di peradaban Barat, industri penerbitan buku telah berkembang pesat di dunia Islam, papar sardar dan Davies. Percetakan kertas pertama di Baghdad didirikan pada tahun 793 M, era Khalifah Harun Al-Rasyid dari Daulah Abbasiyah.
Setelah itu, pabrik-pabrik kertas segera bermunculan di Damskus, Tiberia, Tripoli, Kairo, Fez, Sicilia Islam, Jativa, Valencia, dan berbagai belahan dunia Islam lainnya. Wazir Dinasti Abbasiyah, Ja'far Ibnu Yahya, mulai mengganti parkemen dengan kertas di kantor-kantor pemerintahan.
Produksi kertas tak hanya memberi rangsangan luar biasa untuk menuntut ilmu, tetapi membuat harga buku semakin murah dan mudah diperoleh. Hasil akhirnya adalah revolusi budaya. Seorang sarjana Muslim, Al-Yaqubi dalam catatannya mengungkapkan pada abad ke-9 M, di pinggiran kota Baghdad terdapat tak kurang dari 100 kios buku.
Di toko-toko buku besar, kerap berlangsung diskusi informal membedah buku. Acara itu dihadiri para penulis dan pemikir terkemuka. Sardar menuturkan, salah satu toko buku terkemuka dalam sejarah Islam adalah milik Al-Nadim (wafat 990 M). Dia adalah seorang kolektor buku pada abad ke-10 M.
Toko buku Al-Nadim di Baghdad dipenuhi ribuan manuskrip dan dikenal sebagai tempat pertemuan para pemikir, penyair terkemuka pada masanya. Katalog buku-buku yang terdapat di tokonya Al-Fihrist Al-Nadim dilengkapi dengan catatan kritis. Katalog itu dikenal sebagai ensiklopedia kebudayaan Islam abad pertengahan.
Industri penerbitan yang dipelopori warraqin dilakukan dengan sistem kerja sama antara penulis dengan penerbit. Seorang penulis yang ingin menerbitkan bukunya bisa menyampaikan keinginannya secara publik atau menghubungi satu atau dua warraqin. Buku tersebut nantinya akan 'diterbitkan' di sebuah masjid atau di toko buku terkenal.
Selama masa yang ditentukan, setiap harinya penulis buku itu akan mendiktekan isi bukunya. Setiap orang boleh menghadiri acara itu. Biasanya, para pelajar dan sarjana berkerumun menyimak acara penting itu. Para penulis biasanya menegaskan bahwa hanya warraqin saja yang boleh menulis bukunya.
Ketika buku selesai ditulis, manuskrip tangan akan diperiksa dan diperbaiki penulisnya. Setelah sepakat, buku akan diterbitkan dan dijual kepada pembaca. Sesuai kesepakatan, penulis akan mendapat royalti dari warraqin. Tumbuh suburnya industri penerbitan membuat gairah membaca masyarakat Muslim begitu tinggi.