REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, kedaulatan harus selalu ditegakkan lantaran menyangkut dengan hak-hak dan martabat bangsa Indonesia. Hal ini diperkuat dengan adanya nilai pancasila.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsuddin mengakui, saat ini, kedaulatan Indonesia memiliki tantangan dan ancaman, terutama berkembangnya ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur pancasila. "Berkembangnya isme yang bertentangan dengan pancasila merupakan bagian dari ancaman. Indonesia seperti permisif dengan isme itu," ujarnya saat acara Rapat Pleno Dewan Pertimbangan MUI dan Panglima TNI di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta, Rabu (21/3).
Bahkan, Din memandang, negara ini masih belum menjalankan sila keempat dan juga kelima pancasila. Terutama terlihat dari kesenjangan ekonomi yang dirasakan masyarakat.
"Karena sila keempat jauh panggang dari api. Segelintir orang menguasai aset nasional. Dan dikatakan dengan sila kelima jauh panggang dari api juga. Inilah intinya kedaulatan. Tidak hanya menghadapi musuh, tapi musuh yang sudah ada di dalam negeri," tegasnya.
Padahal, menurut Din, Pancasila dan Islam memiliki kesamaan nilai untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia. Di mana, nilai Islam itu tercermin di Pancasila dalam sila pertama dan keempat. Sehingga, antara Pancasila dan Islam dapat menjadi benteng untuk menghadapi gempuran paham-paham dari luar yang berpotensi mengancam Indonesia.
"Islam itu pemberian Allah, Pancasila itu pemberian pikiran manusia. Pancasila dan Islam tak dapat dipisahkan. Kesalahan fatal bila membenturkan Pancasila dengan Islam dan kebodohan umat Islam (jika) mau dibenturkan," ungkapnya.
Din yang juga menjabat ketua umum pimpinan pusat Muhammadiyah periode 2005-2015, menceritakan, Indonesia dalam sejarahnya telah tiga kali mengalami penegakan kedaulatan. Pertama adalah pengukuhan kultural oleh para pemuda di Tanah Air dalam bentuk Sumpah Pemuda, pada 28 Oktober 1928.
Selanjutnya adalah kedaulatan politik yang dinyatakan dalam proklamasi kemerdekaan oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1945, dan kedaulatan teritorial oleh Ir H Djuanda Kartawidjaja dengan gagasan batas-batas wilayah kekuasaan Indonesia terdiri dari darat dan laut.
Ketiganya merupakan proses peneguhan kedaulatan di Indonesia. Jika tidak ada gagasan kedaulatan teritorial, mungkin Indonesia hanya memiliki kekuasaan daratan. "Kedaulatan menyangkut harkat dan martabak Indonesia. Paling penting kita harus menghadapinya karena isme sudah di depan mata. Menyelesaikannya dengan keterbukaan," ucapnya.
Indonesia dalam kesukuannya, kata Din, lebih banyak muncul sebagai mikro nasionalisme, karena itu ia menyarakankan adanya penegakan kedaulatan yang keempat, agar kedaulatan kembali ke khittah kebangsaan. Sebab, menurutnya, titah proklamasi bahwa pemindahan kekuasaan dan lain-lain yang diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Kini berubah menjadi penggadaian dan penyerahan kedaulatan yang diberikan sukarela dan tanpa rasa berdosa.
Untuk itu, ia kembali mengajak pihak TNI hingga anak muda bangsa bisa memperkuat kedaulatan berbangsa. Sebab, tantangan dan ancaman bukan hanya dari luar Indonesia saja.
Tantangan dan ancaman bukan hanya di luar tetapi dari dalam, ini yang kita ingin anak muda aware dengan ancaman ini, baik dalam isme maupun gangguan yang sangat serius seperti narkoba, korupsi, dan lainnya. Jika dibiarkan tidak mustahil apa yang disebut kedaulatan ciri khas negara maka akan runtuh," ucapnya.
Sementara perwakilan TNI, Irjen Muhammad Herindra menyampaikan juga tantangan pertahanan negara pada masa depan. Termasuk semakin menguatnya teknologi yang bisa juga mengancam kedaulatan. "Sekarang sudah masuk ke revolusi industri keempat, dimana tantangannya semakin besar. Termasuk derasnya arus informasi yang berkembang. Jadi Tantangan kita bersama," ujarnya.