REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) menyoroti isu ekstrimisme dalam pendidikan Islam. Kasus ini dapat mengancam keberagamaan dan nasionalisme.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengingatkan, perkembangan terkini yang cukup mengkhawatirkan. Saat ini, menurutnya, dunia keislaman diwarnai ekstrmisme yang mengancam kebangsaan.
"Sekarang mulai muncul upaya secara ekstrim dalam memahami nilai Islam oleh satu kelompok tertentu yang ultra konservatif," ujarnya saat sambutan Rakornas Pendidikan Islam di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, Rabu (14/3).
Menurutnya, kelompok ini memahami dalil-dalil secara tekstual semata dengan mengabaikan konteks. Dengan cara itu kecenderung tidak menerima penafsiran dan kondisi kontekstual.
Sementara di kutub yang lain begitu liberal mendewakan nalar dan mengabaikan teks. "Dua kutub ini dibenturkan sehingga terjadi konflik atas nama agama di negara ini," ucapnya. Untuk itulah semua pendidik agama Islam harus menjadi agen penjaga moderasi.
Kemudian, Menag juga meminta kesadaran dalam membangun, menjaga, dan merawat beragama adalah juga berindonesia dan sebaliknya. Sebab, berkebangsaan adalah wujud pengamalan agama Islam.
"Kita sebagai muslim harus memiliki keyakinan bahwa beragama adalah dalam rangka menjaga kebangsaan, keindonesiaan dan keberagamaan tidak dipertentangkan," ujarnya.
Sebaliknya, sebagai Muslim juga harus menolak regulasi yang secara esensial melabrak agama. "Waspadai paham keagamaan yang anti kebangsaan. Misalnya yang menganggap menyanyi Indonesia raya, hormat bendera, atau Pancasila haram," katanya.
Rakornas Pendidikan Islam ini diikuti 630 aparatur dan pejabat Dirjen Pendidikan Islam dari seluruh Indonesia.