REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai perempuan, Candice Vancraenenbroek sudah banyak mengecap asam garam kehidupan. Sejak remaja, dia sudah pergi merantau ke berbagai negara Eropa. Mulai dari Inggris, Belanda, hingga Belgia.
Meski terlahir dari lingkungan keluarga Katolik, perempuan berdarah Slovakia itu tidak pernah betul-betul peduli dengan ajaran agama tersebut. Lagi pula, hingga dewasanya, Vancraenenbroek tidak pernah merasa akrab dengan yang namanya gereja.
Setamat dari SMA, tepatnya usia 18 tahun, Vancraenenbroek mencoba mengadu nasib di Inggris. Di negeri Ratu Elizabeth itu, dia mulai menjalani pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga. “Aku menyukai pekerjaan itu. Tetapi, kehidupanku menjadi benar-benar liar sejak tinggal di Inggris,” ujar wanita kelahiran 30 Juli 1976 tersebut mengawali kisahnya.
Ketika menginjak usia 20 tahun, Vancraenenbroek memutuskan untuk hijrah ke Belanda. Hanya berselang dua pekan setelah kedatangannya di negeri Kincir Angin itu, dia berkenalan dengan seorang pria Muslim yang kemudian hari menjadi suaminya.
“Kami saling jatuh cinta dan aku merasa begitu membutuhkannya,” ujar Vancraenenbroek.
Keluhuran Islam
Di matanya, tingkah laku pria tersebut begitu menawan. Tutur katanya yang lemah lembut dan sikapnya yang manis mampu meluluhkan hati Vancraenenbroek. Dari lelaki itu pula ia mulai berkenalan dengan Islam.
Setelah mempelajari Islam untuk beberapa waktu lamanya, Vancraenenbroek menyadari bahwa agama Allah mampu mengisi kehampaan jiwanya selama ini.
Ada perasaan yang sangat spiritual ketika Dia menyelami ajaran-ajaran Islam. “Sebelumnya, hidupku terasa kosong dan jauh dari kebahagiaan. Tapi, aku menemukan segala yang aku butuhkan ketika mengenal Allah,” katanya mengaku.
Bagi Vancraenenbroek, Islam mampu memberinya kebebasan dan kebahagiaan dalam arti yang sesungguhnya. Setelah hatinya benar-benar mantap, dia pun akhirnya memutuskan menjadi seorang Muslimah. Tidak hanya itu, Vancraenenbroek juga ditakdirkan menikahi lelaki Muslim yang menjadi pujaan hatinya tersebut.
Ada satu hal yang paling berkesan di hati Vancraenenbroek sejak dia memutuskan menjadi Muslimah dan mengenakan jilbab. Semua Muslim yang dia jumpai selalu tersenyum kepadanya dan mengucapkan alhamdulillah. Baginya perasaan semacam itu begitu hebat dan sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Kini, Vancraenenbroek dan suaminya menetap di Kota Brussel, Belgia. Mereka telah dikaruniai sepasang anak yang diberi nama Hamza dan Safia. Di samping terus mempelajari Islam dan bahasa Arab secara intensif, perempuan berjilbab tersebut saat ini tengah menyelesaikan studinya pada program komunikasi di Institut des Hautes Études des Communications Sociales (IHECS), Brussel.
Menghadapi Kesulitan Hidup
Awalnya, kata Vancraenenbroek, dia agak kesulitan ketika harus menjelaskan kepada orang tua atau teman-temannya tentang keislamannya. Namun, syukurlah mereka semua secara perlahan-lahan mulai mencoba memahami pilihan hidupnya tersebut.
“Menurut sebagian orang, keputusanku (menjadi mualaf) mungkin tampak seolah-olah untuk menyenangkan hati suamiku saja, tapi itu tidak benar. Suamiku bahkan mengatakan, mau menjadi Muslimah atau tidak itu sepenuhnya aku yang menentukan,” ujarnya.
Di samping itu, negara asalnya, Slovakia, bisa dikatakan tidak memiliki rasa toleransi yang baik terhadap Muslim. Oleh karenanya, hal itu juga menjadi tantangan tersendiri bagi Vancraenenbroek saat mengunjungi orang tuanya di kampung halaman.
“Aku yakin, Allah akan membantuku untuk melalui semua tantangan itu. Yang pasti, aku menjadi Muslimah karena aku memang merasa sangat bahagia dalam Islam,” katanya.
Sampai hari ini, Vancraenenbroek masih ingat betul semua perbuatan buruk yang pernah dilakukannya sebelum menemukan Islam. Untuk itu, dia tidak pernah berhenti mengharapkan pengampunan dari Allah SWT atas dosa-dosanya pada masa lalu.
“Aku percaya Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aku pun selalu berusaha menjadi manusia yang lebih baik sebaik yang aku bisa,” ujarnya.