Jumat 09 Mar 2018 12:43 WIB

Sentimen Anti-Muslim di Sri Lanka dari Kaum Ultranasionalis

Muncul kelompok yang secara terbuka mengaku benci terhadap Islam dan Kristen.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Ani Nursalikah
Tentara Sri Lanka berdiri di sebuah rumah yang dirusak di Digana di pinggiran Kandy, Sri Lanka, Senin (6/3). Sekelompok umat Budha merusak dan membakar sedikitnya 11 toko milik Muslim.
Foto:
Muslim Sri Lanka

Pemicu terjadinya kekerasan terakhir adalah sebuah insiden kemarahan di jalanan yang terjadi pada 22 Februari lalu. Saat itu, seorang sopir truk Sinhala dipukuli sekelompok pria Muslim karena tidak memberi jalan pada becak mobil yang mereka tumpangi.

Pengemudi tersebut akhirnya meninggal akibat luka yang dideritanya pada Sabtu lalu. Saat prosesi pemakamannya, orang-orang dari komunitas Sinhala lantas melakukan kekerasan di beberapa wilayah Kandy yang didominasi Muslim. Mereka merusak toko dan properti di sana. Situasi pun memanas karena toko-toko terbakar. Bentrokan antara kedua komunitas di seluruh Kandy kemudian mendorong pemberlakukan situasi darurat.

Tepat sebelum kerusuhan komunal pecah, bentrokan antara orang Sinhala dan Muslim terjadi di sebuah kota di tenggara Sri Lanka, Ampara, hanya sekitar 100 km dari Kandy. Di Ampara, rumor yang beredar adalah restoran-restoran Muslim populer menambahkan beberapa zat kimia atau pil ke makanan yang mereka sajikan untuk pelanggan Buddhis agar mereka impoten.

(Kekerasan Anti-Muslim, Sri Lanka di Ambang Batas)

Hal ini kemudian dimasukkan ke dalam stereotip mengenai tingkat pertumbuhan Muslim di Sri Lanka, yaitu beberapa kelompok sayap kanan mengklaim tingkat kelahiran yang lebih tinggi di kalangan umat Islam akan mengakibatkan umat Buddha Sinhala menjadi minoritas di negara ini.

Namun, ketegangan sedang berlangsung sebelum ini. Menurut sekretariat untuk umat Islam, sebuah organisasi masyarakat sipil Muslim, Sri Lanka telah menyaksikan sekitar 538 insiden anti-Muslim antara 2013 dan 2015. Di samping beberapa insiden terhadap orang Kristen.

Yang terburuk terjadi pada 2014, ketika empat orang terbunuh dan 80 lainnya terluka dalam kerusuhan di daerah pantai barat Kalutara. Ada ketegangan menyusul kekalahan Rajapakse dalam pemilihan presiden Sri Lanka pada 2015. Namun, insiden baru mulai terjadi menjelang akhir 2016, ketika beberapa Muslim yang mengungsi selama perang sipil mulai merebut kembali tanah mereka di distrik Mannar, dekat wilayah mayoritas Sinhala.

Presiden saat ini, Maithripala Sirisena, sebelumnya berjanji melakukan penyelidikan ke dalam kerusuhan pada 2014. Namun, hal itu tampaknya terlupakan dan tidak ada yang dilakukan untuk memperbaiki kesamaan dari kekerasan komunal tersebut.

Tercatat ada beberapa insiden anti-Muslim sampai April dan Mei tahun lalu di Sri Lanka. Pada 28 September 2017 lalu, seorang biksu memimpin sebuah serangan ke sebuah rumah untuk pengungsi Rohingya yang dikelola oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di pinggiran Kota Kolombo, Gunung Lavinia. Mereka menuduh bahwa Rohingya telah membunuh umat Buddha di Myanmar. Pada November lalu, terjadi bentrokan antara umat Buddha dan Muslim di distrik Galle.

Umat Buddha ekstremis di Sri Lanka tampaknya telah mengambil sebuah lembaran awal dari gerakan anti-Rohingya di Myanmar. Karena kelompok Bolu Bala Sena (BBS) terbentuk sekitar waktu ketika bentrokan pertama melawan Rohingya meletus pada 2012.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement