Rabu 07 Mar 2018 10:16 WIB

Jangan Bertanya yang tak Patut

Iman adalah sebuah kepercayaan mutlak kepada Allah SWT tanpa keraguan.

ajaran islam ilustrasi
Foto: Republika/Prayogi
ajaran islam ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Di sebuah pesantren, tersebutlah kisah seorang kiai yang tengah mengajarkan santrinya tentang hikmah menjalankan syariat. Si santri diminta mengirimkan satu paket kotak yang dibungkus rapi kepada kiai di kampung sebelah. Sang kiai berpesan, si santri dilarang melihat apa isi dari paket itu.

 

Berangkatlah si santri mengantarkan paket tersebut dengan hati bertanya-tanya. Di sepanjang jalan, hatinya terus diusik, apa sebenarnya isi dari paket tersebut. Mengapa ia tidak diperbolehkan untuk mengetahuinya?

 

Akhirnya, si santri memutuskan untuk melihat isi dari paket tersebut. Rasa penasarannya begitu menggebu-gebu. Ia berpikir, kiainya toh tak akan mengetahui karena hanya ada ia dan kotak itu saja. Ia hanya ingin membuka kotak itu, melihat isinya, kemudian menutupnya kembali.

 

Begitu kotak tersebut dibuka, meloncatlah seekor kodok dari dalam kotak. Si santri kaget. Kodok itu pun langsung meluncur ke sungai dan menghilang dibawa arus sungai. Ia terkulai lemas karena dirinya telah gagal membawa amanah dan menjalankan pesan kiainya.

 

Ada banyak hal dalam agama ini yang mengundang penasaran dan pertanyaan. Mengapa berwudhu harus berurutan dengan mendahulukan wajah, tangan, kepala, dan kemudian kaki? Mengapa shalat memiliki gerakan rukuk dan sujud? Mengapa Islam mensyariatkan ini dan itu? Inilah yang harus dipahami umat Islam, bahwa Allah SWT berhak membuat syariat tanpa perlu memberikan alasan apa pun.

 

Dalam Alquran, Allah SWT sering berfirman dengan huruf-huruf mutasyabihat, seperti; alif laam mim, alif laam raa, dan seterusnya. Adalah hak prerogatif Allah SWT untuk berfirman apa pun yang Dia kehendaki. Alquran adalah kalam (perkataan)-Nya. Dia tak punya kewajiban pada hamba-Nya untuk memahamkan seluruh firman-Nya itu.

 

Ada satu mauqif (tahapan) dalam Islam, di mana umatnya hanya diminta untuk mengimani saja. Mereka dilarang menanyakan perkara-perkara di luar hak mereka untuk mengetahuinya. Seperti beberapa syariat yang Allah SWT perintahkan kepada hamba-Nya. Mengapa shalat Subuh dua rakaat, sedangkan shalat Zhuhur empat rakaat? Bukankah waktu Subuh lebih lapang dari waktu Zhuhur yang sibuk dengan pekerjaan? Mengapa harus berpuasa di bulan Ramadhan? Bukankah bisa berpuasa di bulan-bulan lainnya? Mengapa harus tawaf (memutari Ka'bah) dan sa'i (berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwa)? Serta pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya. Jawabannya, hanya Allah SWT Sang Pembuat Syariat ini saja yang mengetahuinya.

 

Demikian juga dengan beberapa perkara dalam syariat Islam yang didiamkan dan dilarang untuk menanyakannya. Seperti firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu. Dan jika kamu menanyakan di waktu Alquran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS Al-Maaidah [5]: 101).

 

Perkara-perkara yang diistilahkan dalam ayat ini disebut ma'fu 'anhu. Perkara ini tak perlu dipertanyakan lagi karena tak ada unsur manfaat dan keilmuan dalam pertanyaan tersebut. Para sahabat dilarang menanyakan perkara-perkara tersebut kepada Nabi. Karena bisa jadi, akibat pertanyaan mereka tersebut malah akan memberatkan mereka.

 

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang Islam yang paling besar kejahatannya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang semula tidak diharamkan, kemudian diharamkan dari sebab pertanyaannya itu.” (HR Bukhari Muslim).

 

Inilah akibat bertanya yang mengada-ada. Seperti kisah si santri yang tidak sabar ingin mengetahui isi kotak yang diamanahkan padanya itu, akhirnya ia harus gagal menjalankan tugasnya. Si santri tak tahu harus berbuat apa. Apakah akan kembali pulang menjelaskan kepada kiainya bahwa ia telah melanggar pesan sang kiai? Atau ia harus menerangkan apa yang terjadi kepada kiai di kampung seberang? Atau ia harus menghabiskan waktu mencari kodok yang sekarang tak tahu di mana keberadaannya? Pastinya, hanya ada penyesalan dalam kalbu si santri.

 

Sifat bertanya yang mengada-ada ini lekat dengan sifat dan gaya orang Bani Israil. Seperti dikisahkan dalam surah al-Baqarah, Bani Israil suka bertanya hal-hal yang akhirnya menyulitkan dirinya sendiri. Awalnya, ia hanya disuruh menyembelih seekor sapi betina. Ia bertanya, sapi betina yang seperti apa? Ia juga menanyakan soal warna serta spesifikasi detail tentang sapi yang disuruh. Akhirnya, ia harus terbebani mencari sapi yang hampir-hampir tak ditemuinya. Padahal, jika ia menjalankan saja syariat yang diperintahkan kepadanya, ia cukup menyembelih sapi betina jenis apa saja.

 

Perkara yang ma'fu 'anhu adalah pertanyaan yang bertujuan untuk menentang atau mencari-cari kesalahan, menanyakan perkara yang tidak penting dan tidak bermanfaat, atau untuk berkilah dalam menjalankan syariat. Ada saatnya, di mana umat Islam cukup mengimani saja apa yang telah diperintahkan kepadanya. Selanjutnya, Allah SWT Yang Maha Luas Ilmunya yang mengungkapkan hikmah di balik syariat yang diperintahkan-Nya.

 

Misalkan, bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa shalat dapat melancarkan sirkulasi darah dan mengurangi stres, puasa dapat menyehatkan, dan seterusnya. Allah SWT pasti menunjukkan hikmah dari syariat yang diberikan-Nya. Sebelum itu, beriman dan jalankanlah perintah-Nya tanpa harus bertanya ini dan itu.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement