Senin 05 Mar 2018 15:10 WIB

Adab Berdebat

Tujuannya adalah untuk mencari kebenaran dengan menghilangkan sikap fanatik.

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Agung Sasongko
Berdebat (ilustrasi)
Foto: technode.com
Berdebat (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suatu ketika Intelektual Islam asal Andalusia Ibnu Hazm (994-1064) berdebat dengan seseorang tentang suatu masalah. Adu argumentasi terjadi. Hasilnya, forum mengklaim argumentasi paling kuat diutarakan oleh pria bernama lengkap Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm.

Tradisi berdebat intelektual di era Islam sudah biasa terjadi. Baytul Hikmah (830) di Baghdad, tempat penerjemahan dan sumber ilmu pengetahuan dari berbagai peradaban, menjadi saksi bisu terjadinya adu argumentasi banyak ilmuwan (Safia Aoude).

Ketika itu ilmu logika (Mantiq) berkembang dengan pesat. Adu argumentasi selalu mengedepankan etika saling menghormati, bukan menjatuhkan muruah orang lain. Pemerintahan Islam ketika itu kerap mengadakan perdebatan antara dua pihak yang berbeda pendapat untuk menemukan argumentasi siapa yang paling mendekati kebenaran. Isu yang diangkat biasanya seputar fikih dan teologi.

Namun apakah perdebatan sekadar adu argumentasi di depan umum? Apakah hanya untuk memamerkan keunggulan data dan analisis? Ternyata tidak.Ada baiknya kita menelusuri kelanjutan kisah Ibnu Hazm setelah dia unggul di panggung debat.

Pengarang kitab al-Fashl fil Milal wal Ahwa wan Nihal itu pulang. Sesampainya di rumah, dia teringat sesuatu yang cukup mengganggu pikiran terkait dengan perdebatan tadi. Dia kemudian membuka referensi untuk memverifikasi argumentasi (hujjah) yang diutarakannya, apakah benar atau tidak.

Ternyata, hujjah Ibnu Hazm tidak tepat. Seharusnya dia kalah dalam perdebatan tadi. Permasalahan itu dia utarakan kepada sahabatnya yang ikut membantu Ibnu Hazm membuka buku.Dia menceritakan masalah yang sebenarnya.

Apa yang kamu inginkan? tanya si sahabat.

Membawa kitab ini dan menerangkannya kepada si Fulan yang tadi berdebat dengan saya, ujar Ibnu Hazm.

Sang alim ingin menunjukkan, bahwa argumentasinya tidak tepat. Hujjah lawan debatnya adalah yang benar.Saya mendukung pendapatnya, kata Ibnu Hazm. Sahabat yang menemaninya bingung.

"Apakah kamu berlapang dada dengan masalah ini? tanya dia.

"Ya, saya tak akan menangguhkannya sampai besok,"kata Ibnu Hazm.

Percakapan itu tertulis dalam kitab yang ditulisnya at-Taqrib Lihaddil Mantiq. Debat bukan didasarkan pada kekuatan massa yang bisa dipengaruhi seseorang. Bukan pula pada harta dan kekuasaan yang dipegang. Dasarnya adalah argumentasi yang dibangun berdasarkan data dan fakta.

Ibnu Hazm menjelaskan sejumlah adab berdebat. Tujuannya adalah untuk mencari kebenaran dengan menghilangkan sikap fanatik pada pandangan tertentu. Debat harus didukung dalil yang menguatkan. Seandainya seseorang menunjukkan argumentasi yang lemah, apalagi kosong, maka dia tak akan mampu membangun kebenaran.

Orang seperti itu, kata Ibnu Hazm, tidak akan mampu memerangi kebatilan, bahkan bisa jadi keyakinannya menjadi tidak sah. Seorang hakim harus mampu membedakan antara yang benar dan salah. Hal itu hanya bisa dilakukan dengan akal berisikan dalildalil yang linear, tidak bertentangan,tulis dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement