REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alkimia merupakan kajian kimia dari Abad Pertengahan. Para pegiatnya beru- paya antara lain menemukan suatu unsur Batu Filsuf (the Philosopher's Stone) atau eliksir yang konon dapat mengubah logam biasa menjadi emas. Banyak dari mereka berasal dari komunitas-komunitas di sekitar Laut Tengah.
Setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi, pamor peradaban Islam meningkat. Banyak ilmuwan Muslim mempelajari beragam ilmu pengetahuan dari kawasan- kawasan yang berkebudayaan lebih tua. Mereka antara lain berkontribusi mengembangkan alkimia dan ilmu kimia hingga mencapai bentuknya seperti di zaman modern sekarang. Berikut ini tiga orang Muslim pakar kimia dari periode klasik.
Khalid bin Yazid
Nama Khalid bin Yazid melegenda sebagai orang Islam pertama yang ahli alkimia. Dia lahir pada 665 dan wafat 39 tahun kemudian di Damaskus. John Eberly dalam bukunya, Al-Kimia: The Mystical Is- lamic Essence of the Sacred Art of Alchemy, mengulas tentang cucu pendiri Daulah Umayyah tersebut. Saat berusia 20 tahun, Khalid berkelana ke Iskandariah, Mesir. Di kota tersebut, dia mulai tertarik pada bidang alkimia setelah menemukan sebuah naskah tentang Batu Filsuf. Riwayat hidup Khalid bin Yazid mula-mula dirangkum antologi karya Muhammad bin Ishaq al- Nadim (wafat 995), Kitab al-Fihrist. Menurut Ibnu al- Nadim, bangsawan Umayyah tersebut telah mengarang beberapa karya tentang alkimia. Di antaranya adalah Kitab al-Kharaz, Kitab ash-Shafa al-Kabir, Kitab ash- Shafa as-Saghir, danFirdaus al-Hikmah.
Jabir bin Hayyan
Nama lengkapnya, Abu Musa Jabir bin Hayyan. Bisa dikatakan, dia jenius karena kepandaiannya meliputi banyak bidang, seperti kimia, metalurgi, astronomi, geografi, teknik, pengobatan, kedokteran, dan filsafat. Lahir pada 721 di Thus (Iran) dan wafat dalam usia 94 tahun di Khurasan, ilmuan ini elalu dikenang generasi-generasi berikutnya. Orang-orang Kristen Eropa pada abad ke-15 menyebut namanya dalam bahasa Latin, Geber.
Muhammad al-Razi
Ilmuwan serba bisa ini bernama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Zakariyya al-Razi. Kalangan Eropa abad pertengahan menyebutnya sebagai Rhazes. Nama belakangnya merujuk pada tempat kelahirannya, Ray (Iran). Dia wafat dalam usia 71 tahun di kota yang sama.Selain kimia, tokoh jenius ini juga menekuni bidang kedokteran. Sejarawan modern menganggapnya sebagai perintis studi atas penyakit menular, semisal cacar air dan campak. Di bidang kimia, al-Razi menemukan metode yang lebih sempurna untuk menghasilkan cairan-cairan pemantik api, semisal alkohol dan minyak tanah (kerosene).