REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cendikiawan Muslim KH Didin Hafidhuddin tak dapat menerima alasan pemerintah mewacanakan penyusunan regulasi standar minimum dan izin pendirian pondok pesantren. Lewat rencana tersebut, pemerintah berupaya menunjukkan perannya dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekaligus menghindarkan Indonesia mengekor India, Bangladesh, dan Afghanistan yang tidak mengontrol ideologi ekstrem.
Kiai Didin menampik kesan tersebut. Ia tak ingin pemerintah mengeneralisir semua pesantren beraliran keras. Watak seseorang tidak bisa dijadikan acuan.
Terlebih, selama ini banyak alumnus pesantren yang telah mengharumkan nama Indonesia. "Jangan lupa, pesantren telah melahirkan tokoh masyarakat. Banyak alumni yang punya akar positif terhadap bangsa," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (1/3).
Ia mengatakan, untuk meminimalisir ideologi esktrem, pemerintah tidak perlu menitikberatkan kebijakan standar minimum dalam pendirian pendirian pesantren. Apabila kebijakan yang mengatur standar ini terealisasi maka akan berpotensi menghilangkan daya kreativitas para pengelola pesantren.
"Jika regulasi itu terlalu berat maka kreativitas akan hilang. Mereka ini para pengabdi, tidak digaji juga. Ada puluhan ribu santri di Indonesia ini," ungkapnya.
Jangan memberatkan
Kiai Didin mengatakan ia akan mendukung rencana pemerintah apabila kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan pondok pesantren di Indonesia. Setidaknya, regulasi tersebut dapat memajukan sumber daya manusia di pesantren.
"Kebijakan pemerintah membuat regulasi standardisasi mutu pesantren sangat bagus. Tapi jika regulasi ini berat dan sulit, tidak perlu dilakukan. Cukup dengan sering pelatihan kepimpinan saja, manajemen yang baik terhadap santri," ungkapnya.
Menurutnya, selama ini perkembangan pesantren di Indonesia mengalami peningkatan cukup siginifikan. Contohnya bisa dilihat dari beberapa pesantren yang maju di bidang kewirausahaan. "Seperti, pesantren Baitul Mal wat Tamwil (BMT), pesantren Miftahul Huda, dan pesantren Darussalam Gontor," ucapnya.
Berdasarkan keterangan Direktorat Jenderal Pendis Kamaruddin Amin, standar pendirian pesantren minimum akan mencakup sisi kurikulum hingga sumber daya manusianya. Perbaikan tersebut menjadi upaya kehadiran negara dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI). Dalam pembuatan standar, pesantren akan dilibatkan.
"Kita tidak ingin seperti India, Bangladesh, Afganistan yang tidak mengontrol diri dari ideologi ekstrem, kata Kamaruddin saat orasi dalam Rapat Koordinasi Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren di Jakarta, Senin (26/2) malam.
Selain itu, Kamaruddin juga menjelaskan bahwa regulasi izin pendirian pondok pesantren yang selama ini berada di tingkat wilayah Kabupaten/Kota, akan ditarik ke pusat. "Selama ini kita agak longgar," ungkapnya.