REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syekh Dr Abdullah bin Ibrahim ath-Thariqi melalui bukunya yang berjudul Musykilat as-Saraf fi al-Mujtama’ al-Muslim wa ‘Ilajuha fi Dhau’ al-Islam melontarkan gagasan media yang bisa dijadikan sebagai sarana untuk mengikis boros. Di sisi keagamaan, ia mengusulkan optimalisasi dakwah melalui berbagai forum, seperti masjid. Optimalisasi peran masjid untuk berdakwah “perang” terhadap gaya hidup boros sangat diperlukan.
Di rumah ibadah inilah Muslim minimal akan mengunjunginya lima kali sehari untuk shalat lima waktu. Maka, beruntunglah mereka yang sadar betul akan fungsi vital masjid. “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian.” (QS at-Taubah [9]: 81).
Oleh sebab itu, kikis budaya boros dari jalur pendidikan, baik formal ataupun nonformal. Pendidikan nonformal bisa diawali dengan memberikan contoh terbaik dalam keluarga.
Bagaimanapun, tiap manusia pada hakikatnya tercipta pada fitrahnya yang lurus. Maka, peran orang tua sangat menentukan pembentukan karakter si buah hati. Di level nonformal, lingkungan terdekat ikut pula memengaruhi watak seseorang. Karenanya, mesti menciptakan lingkungan yang kondusif dan terhindar dari kebiasaan boros.
Tak kalah penting, kata Syekh ath-Thariqi, yaitu memaksimalkan potensi media. Media kini berperan penting dalam upaya mencerdaskan masyarakat. Ada media elektronik audio visual ataupun media cetak. Kehadiran jejaring sosial dirasa akan sangat membantu penyebaran dakwah “perang” melawan hedonisme.
Dan, paling utama dari sekian media itu ialah bagaimana menumbuhkan kesadaran siapa pun agar menjauhi pola hidup boros. Itu, antara lain, bisa ditempuh dengan memahami apa hakikat harta dan kekayaan yang dimiliki. “Kesemuanya itu adalah titipan yang kelak akan dipertangggungjawabkan,” tulis Syekh ath-Thariqi.