REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Christmas Island identik dengan para pencari suaka. Ya, pulau yang tak memiliki penduduk asli ini sebagian besar warganya merupakan imigran yang sedang berjuang mendapatkan status kewarganegaraan dari Pemerintah Australia. Nah, di antara para imigran itu terdapat kaum Muslimin yang membawa “hadiah” khusus berupa ajaran Islam untuk pulau di selatan Indonesia tersebut.
Christmas Island merupakan salah satu pulau teritorial Australia yang berlokasi di Asia Tenggara, tepatnya di Samudera Hindia. Luasnya hanya sekitar 135 kilometer persegi dengan empat area permukiman di ujung utara pulau, yakni Flying Fish Cove, Silver City, Poon Saan, dan Drumsit.
Penyematan nama Christmas berkaitan dengan penemuan pulau ini oleh seorang Inggris Kapten William Mynors pada Natal 1643. Meski telah ditemukan, Christmas Island baru muncul di peta pada abad ke-17 Masehi. Hingga kini, pulau tersebut menjadi destinasi migrasi bangsa Asia-Afrika.
Berdasarkan CIA World Factbook, populasi Muslim di pulau tersebut sebanyak 25 persen dari total penduduk 1.496 jiwa. Sebagian besar merupakan imigran beretnis Melayu. Tapi, etnis tersebut bukanlah kelompok mayoritas.
Terdapat beragam etnis yang tinggal di daratan yang hanya berjarak 500 kilometer dari Jakarta tersebut, antara lain, Anglo Australian, Eropa, Han (Cina), dan sebagainya. Tapi, Tionghoa Hokkien lah yang paling mendominasi populasi. Tak heran, Buddha menjadi agama mayoritas di pulau yang kaya hutan tropis tersebut.
Data menunjukkan, penganut Buddha di pulau ini sebanyak 36 persen dari total populasi, Kristen Katholik 18 persen, serta kepercayaan lain, seperti Baha'i, Tao, dan Konghucu sebanyak 21 persen. Dengan demikian, Islam menjadi agama mayoritas kedua di pulau tersebut. Komunitas Muslim lebih banyak tinggal di Flying Fish Cove atau dikenal pula dengan nama “Kampong”.
Di peta, kawasan ini juga kerap disebut sebagai “Settlement”. Kawasan inilah yang menjadi permukiman orang-orang Inggris setelah ditemukannya pulau ini. Kampong memiliki sebuah pelabuhan kecil yang menjadi tempat berlabuh kapal-kapal wisatawan. Pemandangannya sangat cantik dengan garis pantai yang elok dipandang mata.
Muslimin hidup damai di pulau multietnis ini. Pemerintah setempat menerapkan libur untuk hari besar tiap etnis dan umat beragama. Dua hari raya, yakni Idul Fitri dan Idul Adha pun ditetapkan menjadi hari libur. Beragam festival budaya Islam pun diizinkan untuk digelar. Sebagaimana di Indonesia dan Malaysia, umat Islam di Christmas Island pun menggelar perayaan Islam tradisional. Peringatan hari kematian, pengajian, khitanan, syukuran, dan perayaan lain pun kerap dihelat warga Muslim.
Ada pula tradisi Muslim lainnya di pulau Samudra Hindia tersebut, yakni kewajiban mengenakan baju Muslim atau yang menutup aurat bagi setiap pengunjung kawasan Kampong. Aturan tersebut telah membudaya dan tak ada yang merasa keberatan. Muslim setempat yang memang didominasi Melayu terbiasa mengenakan sarung, baju koko, dan peci. Beberapa di antara mereka pun mengenakan gamis yang umumnya berwarna putih. Nyaris tak ada perbedaan dengan Muslim di Indonesia ataupun Malaysia.