Sabtu 03 Feb 2018 07:04 WIB

Tinggi, Permintaan Imam Asal Indonesia di Timur Tengah

Permintaan juga mencakup imam pendamping dan marbut.

Rep: Rahmat fajar/ Red: Agung Sasongko
Imam Masjid ilustrasi
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Imam Masjid ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Bidang Luar Negeri Majlis Ulama Indonesia (MUI) KH Muhyiddin Junaidi menjelaskan, dalam beberapa tahun terakhir, permintaan imam asal Indonesia semakin tinggi, terutama di negara Timur, seperti Qatar, Kuwait, dan Uni Arab Emirat (UAE). Posisi yang tersedia, yaitu imam utama, imam pendam ping, dan penjaga masjid (marbut).

Untuk menempati posisi tersebut tidaklah mudah karena harus memiliki kualifikasi dan konfidensi yang tinggi. Ter utama, ujar dia, dalam berkomunikasi dengan bahasa asing. "Meraka harus bisa berkomunikasi dengan ba hasa Arab dan Inggris karena mereka akan menjadi imam sekaligus penceramah di masjid tersebut, yang nota bene nya banyak dikunjungi pekerja asing," kata Kiai Muhyiddin saat dihubungi Republika.co.id, belum lama ini.

Setelah melakukan kunjungan di berbagai masjid di UAE yang dipimpin imam Indonesia, Kiai Muhyiddin menyimpulkan bahwa tantangan terbesar yang dihadapi imam asal Indonesia adalah perbedaan kultur dan budaya di negara tempat mereka berdakwah.

Perbedaan bahasa dan gaya berdakwah juga kerap menjadi tantangan berat yang perlu diatasi oleh para imam. Dia menjelaskan, budaya memang menjadi faktor yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya objek dakwah yang disampaikan seorang dai.

Pemahaman tradisi, watak, dan kebiasaan masyarakat lokal sangat diperlukan agar mereka dapat lebih mudah menerima ajaran yang disampaikan penceramah. "Watak orang Arab yang keras memang juga menjadi tantangan tersendiri. Karena pasti ada perbedaan pendapat yang perlu ditoleransi oleh imam," katanya.

Cara untuk mengatasi permasalahan yang terjadi juga dapat dilakukan dengan membiasakan diri untuk menjalin komunikasi dengan orang lokal maupun pekerja asing di sana. Kiai Muhyid din menganggap, perbedaan budaya dan watak yang dibawa masingmasing individu tentu memerlukan perlakuan yang berbeda satu sama lain.

"Culture shock itu solusinya adalah adaptasi dan setiap orang berbeda-beda waktu adaptasinya. Jadi, komunikasi dengan penduduk lokal, menghargai perbedaan dan menjaga toleransi itu akan menjadi kunci keberhasilan seseorang dalam menjalankan tugasnya," kata dia.

Sebagai perwakilan Indonesia, imam juga harus mampu menjaga etika dan perilakunya karena secara tidak langsung akan menjadi cerminan dari warga Indonesia. Hal lain yang perlu diperhatikan, lanjut Kiai Muhyiddin, adalah cara penyampaian dakwah yang harus netral, terbuka, dan tidak menghakimi atau menganggap apa yang disampaikannya adalah hal yang paling benar.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement