Senin 29 Jan 2018 12:15 WIB

Makna Khauf di dalam Alquran

Alquran menyatakan setiap orang pasti alami kesedihan.

Rep: A Syalaby Icshan/ Red: Agung Sasongko
Alquran
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Alquran

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penulis buku best seller La Tahzan, Aidh al-Qarni, menjelaskan tentang makna sesungguhnya dari judul buku bermakna `jangan bersedih' itu.

Menurut dia, kesedihan sudah menjadi penyakit alam seluruhnya. Muslim atau bukan Muslim, orang pasti mengalami kesedihan. Sedih karena sakit, sedih karena meninggal, sedih karena kesulitan hidup dan berbagai masalah.

“Jadi, karena alasan itulah makanya buku ini saya beri judul La Tahzan. Sementara, makna khauf tersebar di beberapa surah di dalam Alquran. Sebagai contoh, QS al-Ahzab (33): 72. Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir (khauf) akan mengkhianatinya. Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat lalim dan amat bodoh.

Ayat ini menyebutkan bahwa manusia sanggup untuk memikul amanat berupa ibadah dan taat kepada Allah SWT. Padahal, langit, bumi, dan gunung tidak mampu memikul amanat itu. Manusia pun merasa takut atas konsekuensi yang diambilnya tersebut.

Allah Ta'ala memang sudah berjanji akan memberikan kepada manusia beragam rasa di dalam jiwa, mulai dari ketaku- tan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, hingga buah-buahan. Namun, Allah men- gungkapkan, berita gembira akan didap- atkan orang-orang yang sabar saat men- dapatkan musibah. Mereka pun mengucapkan, Innalillahi wainnailaihirajiun.

Mereka adalah orang yang mendapatkan keberkahan sempurna dan rahmat dari Allah. Mereka pun mendapatkan petunjuk.

Mengucapkan kalimat innalillahi wainnailaihirajiun bukanlah sebatas ucapan belasungkawa. Dengan mengucap- kan kalimat tersebut, mereka menghibur diri saat mendapatkan musibah. Mereka yakin bahwa sesungguhnya segala sesuatu termasuk diri, keluarga, dan semua har- tanya adalah milik Allah SWT. Dia mem- berlakukan terhadap hamba-hamba-Nya menurut apa yang Dia kehendaki.

Allah Ta'ala telah menganugerahi manusia sarana untuk melakukan rekreasi jiwa lewat perintah shalat. Lima kali sehari, shalat menjadi ajang bagi orang- orang mukmin untuk berhenti sejenak dari tumpukan pekerjaan di kantor, riuhnya jual beli di pasar, impitan masalah rumah tangga, hingga kebutuhan hidup yang menggunung.

Shalat menjadi ajang kontemplasi seorang hamba dengan Tuhannya untuk menyadari betapa kecil masalah- masalah yang dihadapi, sedangkan Allah adalah Zat Yang Mahabesar.

Shalat yang diawali dengan ritual membasuh segenap anggota tubuh dengan air bersih menjadi qiyas penjernih debu- debu di wajah, lengan, rambut, hidung, telinga, hingga kaki. Tak sekadar zahir, dinginnya air wudhu pun diharapkan mampu membasuh kepenatan batin.

Saat menjalani ujian sebagai rasul, Nabi Muhammad diperintahkan untuk melakukan shalat malam lewat QS al- Muzammil ayat 1-9. Di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, Rasulullah mendap- atkan perintah shalat malam karena akan menghadapi perkataan yang berat. Perkataan ini diturunkan lewat wahyu melalui Malaikat Jibril.

Di dalam hadis riwayat Imam Ahmad, Rasulullah sempat ditanya mengenai perasaannya saat menerima wahyu. Beliau SAW menjawab: Aku mendengar suara gemerincingnya lonceng, kemudian aku diam saat itu. Dan itu tidak sekali-kali diturunkan wahyu kepadaku melainkan aku mengira bawah nyawaku sedang dicabut. Begitulah shalat diturunkan kepada Nabi yang juga diperintahkan untuk kita sebagai hamba-Nya, sebagai perhentian sementara di saat kita lupa. Wallahua'lam.

 

(Baca: Jangan Bersedih)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement