REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kematian atau ajal adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara permanen, baik karena penyebab alami, seperti penyakit, atau karena penyebab tidak alami, seperti kecelakaan. Setelah kematian, tubuh makhluk hidup mengalami pembusukan.
Allah SWT menjelaskan kematian dalam konteks menguraikan nikmat-nikmat-Nya kepada manusia. “Bagaimana kamu mengingkari (Allah) sedang kamu tadinya mati, kemudian dihidupkan (oleh-Nya), kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kamu dikembalikan kepada-Nya.” (QS al-Baqarah [2]: 28). Cendekiawan Muslim asal India, Muhammad Iqbal, menegaskan, mustahil sama sekali bagi makhluk manusia yang mengalami perkembangan jutaan tahun untuk dilemparkan begitu saja bagai barang yang tidak berharga. Tetapi, itu baru dapat terlaksana apabila ia mampu menyucikan dirinya secara terus-menerus. Penyucian jiwa itu dengan jalan menjauhkan diri dari kekejian dan dosa, dengan jalan amal saleh.
Alquran menegaskan, “Mahasuci Allah Yang di dalam genggaman kekuasaan-Nya seluruh kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya, dan sesungguhnya Dia Mahamulia lagi Maha Pengampun” (QS al-Mulk [67]: 1-2)
Kematian dalam Islam bukanlah sesuatu yang buruk. Karena, di samping mendorong manusia untuk meningkatkan pengabdiannya dalam kehidupan dunia ini, kematian juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati. Ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi menunjukkan bahwa kematian bukanlah ketiadaan hidup secara mutlak, tetapi ia adalah ketiadaan hidup di dunia. Dalam arti bahwa manusia yang meninggal pada hakikatnya masih tetap hidup di alam lain dan dengan cara yang tidak dapat diketahui sepenuhnya.
Sejarawan Ibnu Ishak meriwayatkan ketika orang-orang musyrik yang tewas dalam Perang Badar dikuburkan dalam satu perigi oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya. Rasul bertanya kepada mereka yang telah tewas itu. “Wahai penghuni perigi, wahai Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Ummayah bin Khalaf; Wahai Abu Jahl bin Hisyam, (seterusnya beliau menyebutkan nama orang-orang yang di dalam perigi itu satu per satu). Wahai penghuni perigi! Adakah kamu telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhanmu itu benar-benar ada? Aku telah mendapati apa yang telah dijanjikan Tuhanku.” “Rasul. Mengapa Anda berbicara dengan orang yang sudah tewas?” Tanya para sahabat. Rasul menjawab, “Kamu sekalian tidak lebih mendengar dari mereka, tetapi mereka tidak dapat menjawabku).”
Cendekiawan Muslim Musthafa Al-Kik menulis dalam bukunya Baina Alamain bahwa kematian yang dialami oleh manusia dapat berupa kematian mendadak, seperti serangan jantung, tabrakan, dan sebagainya, serta dapat juga merupakan kematian normal yang terjadi melalui proses menua secara perlahan. Yang mati mendadak maupun yang normal, kesemuanya mengalami apa yang dinamai sakarat al-maut (sekarat), yakni semacam hilangnya kesadaran yang diikuti oleh lepasnya ruh dan jasad.
Dalam keadaan mati mendadak, sakarat al-maut itu hanya terjadi singkat, yang mengalaminya akan merasa sangat sakit karena kematian yang dihadapinya ketika itu—diibaratkan oleh Nabi—seperti duri yang berada dalam kapas dan yang dicabut dengan keras.
Banyak ulama tafsir menunjuk ayat wan nazi’at gharqa (Demi malaikat-malaikat yang mencabut nyawa dengan keras) (QS an-Nazi’at [79]: 1) sebagai isyarat kematian mendadak. Sedangkan, lanjutan ayat surah tersebut, yaitu wan nasyithati nasytha (malaikat-malaikat yang mencabut ruh dengan lemah lembut) sebagai isyarat kepada kematian yang dialami secara perlahan-lahan.
Kematian yang melalui proses lambat itu dan yang dinyatakan oleh ayat di atas sebagai “dicabut dengan lemah lembut”, sama keadaannya dengan proses yang dialami seseorang pada saat kantuk sampai dengan tidur (QS az-Zumar [39]: 42).
Pakar tafsir Fakhruddin ar-Razi menyatakan, ayat ke-42 surah az-Zumar itu sebagai berikut. “Yang pasti adalah tidur dan mati merupakan dua hal dari jenis yang sama. Hanya saja kematian adalah putusnya hubungan secara sempurna, sedangkan tidur adalah putusnya hubungan tidak sempurna, dilihat dari beberapa segi.”
Mati itu sendiri lezat dan nikmat, bukankah tidur juga demikian? Tetapi, tentu saja ada faktor-faktor eksternal yang dapat menjadikan kematian lebih lezat dari tidur atau menjadikannya amat mengerikan melebihi ngerinya mimpi-mimpi buruk yang dialami manusia. Faktor-faktor ekstern tersebut muncul dan diakibatkan oleh amal manusia yang diperankannya dalam kehidupan dunia ini.
Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menjelaskan, “Seorang mukmin saat menjelang kematiannya, akan didatangi oleh malaikat sambil menyampaikan dan memperlihatkan kepadanya apa yang bakal dialaminya setelah kematian. Ketika itu tidak ada yang lebih disenanginya, kecuali bertemu dengan Tuhan (mati). Berbeda halnya dengan orang kafir yang juga diperlihatkan kepadanya apa yang bakal dihadapinya. Dan, ketika itu tidak ada sesuatu yang lebih dibencinya daripada bertemu dengan Tuhan.”
Dalam surah Fushshilat ayat 30 Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan bahwa Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu merasa takut dan jangan pula bersedih, serta bergembiralah dengan surga yang dijanjikan Allah kepada kamu.”
Turunnya malaikat tersebut, menurut banyak pakar tafsir, adalah ketika seseorang yang sikapnya seperti digambarkan ayat di atas sedang menghadapi kematian. Adapun ucapan malaikat, “Janganlah kamu merasa takut”, untuk menenangkan mereka saat menghadapi maut dan sesudah maut. Sedangkan, “jangan bersedih” adalah untuk menghilangkan kesedihan mereka menyangkut persoalan dunia yang ditinggalkan, seperti anak, istri, harta, atau hutang.